Rabu 13 Aug 2014 08:27 WIB

Merah Putih Berkibar di Sawahlunto Sebelum Proklamasi

Pengibaran bendera merah putih di Sawahlunto dilakukan sebelum proklamasi.

Makam Kapten Amir Jamin Datuk Rajo Nan Sati, seorang eks pelopor pejuang '45 di Sawahlunto, Sumatra Barat
Foto: Muhammad Hafil / Republika
Makam Kapten Amir Jamin Datuk Rajo Nan Sati, seorang eks pelopor pejuang '45 di Sawahlunto, Sumatra Barat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Hafil / Wartawan Republika

 

Kabar bahwa Jepang telah kalah perang dunia kedua tidak hanya sampai pada para pejuang di Jakarta. Berita itu juga sampai ke sejumlah pejuang di Sawahlunto, Sumatra Barat.

Adalah seorang bekas perwira Gyu Gun Amir Jamin, pemuda asal Nagari Kubang, Sawahlunto, yang saat itu berusia 24 tahun, mendengar kabar tersebut melalui siaran radio. Amir yang saat itu baru saja dibebastugaskan oleh tentara Jepang di Padang dan dipulangkan ke Sawahlunto pada 15 Agustus 1945, mencari tahu apa yang terjadi. Karena, tentara Jepang Jepang tidak memberitahu alasan kenapa semua anggota Gyu Gun yang berasal dari pemuda pribumi dibebastugaskan dan dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing.

Setibanya di Sawahlunto pada 16 Agustus 1945, Amir mencari tahu informasi yang terjadi melalui siaran radio miliknya. Akhirnya, ia mengetahui dari siaran berita internasional bahwa Jepang telah mengaku kalah pada 15 Agustus setelah dua kotanya di Nagasaki dan Hiroshima dibom oleh Amerika Serikat.

Mendapati informasi tersebut, Amir mengambil kesimpulan bahwa Indonesia bisa berjuang untuk meraih kemerdekaanya. Langkah pertama yang ia lakukan adalah  mengajak seorang pemuda bernama Arifin Pono dan beberapa orang pemuda lainnya menurunkan sebuah bendera Jepang yang selama ini dikibarkan di sebuah tempat berkumpulnya warga dan pemuda di Batu Tajam, Nagari Kubang, tak jauh dari pusat Kota Sawahlunto. Mereka  pun kemudian mengibarkan bendera Merah Putih di sana,  tepat satu hari sebelum Proklamasi 17 Agustus yang dilakukan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta.

Menurut salah seorang veteran pejuang di Sawahlunto, Lukman Alif (78 tahun),  ia menyaksikan secara langsung penaikkan bendera tersebut. Ia melihat, Amir yang lulus pendidikan perwira militer Gyu Gun di Padang dan pernah menjadi polisi Belanda di Sukabumi, Jawa barat, dan Lampung itu, mengatur para pemuda untuk berbaris. Meski tak menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun para pemuda dalam barisan tetap memberi hormat saat bendera dinaikkan dan dikibarkan.

"Amir melatih secara singkat para pemuda untuk baris-berbaris saat pengibaran bendera," kata Lukman kepada Republika beberapa waktu lalu.

Tindakan Amir ternyata mengundang kemarahan Wali Nagari Kubang (Angku Palo) Mohamad Rasyid.  Rasyid mempertanyakan alasan mengapa bendera Jepang diturunkan dan bendera merah putih dikibarkan.

"Jepang telah kalah. Kita sudah merdeka," kata Amir Jamin menjawab pertanyaan Rasyid sebagaimana  dikutip dalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung 1833-1950.

Namun, karena rakyat belum mengetahui situasi terakhir, akhirnya bendera merah putih kembali diturunkan. Dalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Sawahlunto yang ditulis oleh Fera Sudarma dan Nopriyasman, hal tersebut untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama dari sikap tentara Jepang di Sawahlunto.

Meskipun penaikan bendera itu tak berlangsung lama, warga Nagari Kubang dan nagari sekitarnya seperti Silungkang dan Padang Sibusuk telah mengetahui tentang kekalahan Jepang.  Semangat mereka untuk berjuang untuk Indonesia merdeka juga semakin meningkat.

Menurut Ketua Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Kota Sawahlunto, Arif Amin (79), Jepang masuk ke Sawahlunto pada 1943 untuk mengincar tambang batubara Ombilin yang telah ditinggalkan Belanda. Pada awalnya, Jepang bersikap baik kepada rakyat. Bahkan, bendera Jepang selalu dikibarkan dan disandingkan dengan bendera Merah Putih secara bersamaan.

Namun, sikap baik Jepang itu hanya terjadi pada satu tahun pertama. Pada 1944, Jepang melarang pengibaran bendera Merah Putih di Sawahlunto. "Jika ada rakyat yang mengibarkan, diancam akan diberikan hukuman," kata Arif.

Mengenai aksi heroik pengibaran bendera Merah Putih itu, Arif menceritakan, ia yang dulu masih remaja mendengar pengibaran bendera itu dari orang-orang di Nagari Silungkang. Darah remajanya yang masih menyala-nyala membuatnya tak sabar untuk ikut barisan perjuangan. 

Ia menceritakan bahwa orang-orang di Silungkang menceritakan dari mulut ke mulut bahwa Indonesia telah merdeka. Dan, mereka mengetahuinya setelah adanya peristiwa penaikan bendera merah putih oleh Amir Jamin dan sejumlah pemuda di Nagari Kubang. Para pemuda dan warga Silungkang pun ikut bergabung dengan BKR yang telah terbentuk dan dipusatkan di pusat Kota Sawahlunto.

Setelah informasi peristiwa penaikkan bendera itu menyebar dan membuat banyak pemuda dari berbagai nagari ingin ikut berjuang untuk kemerdekaan, Amir kemudian berinisiatif untuk mengadakan rapat umum di pusat Kota Sawahlunto pada 18 Agustus 1945. Apalagi, setelah ia mendengar siaran berita di radio bahwa pada 17 Agustus di Jakarta telah melaksanakan proklamasi. 

Selain itu, ia juga mendengar seruan Bung Karno untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang merupakan cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Maka kemudian, Amir mengajak salah seorang tokoh Sawahlunto bernama Rajo Sampono untuk melaksanakan agenda rapat umum tersebut. 

Rapat dihadiri oleh para pemuda dan pimpinan rakyat di alun-alun Sawahlunto. Hingga akhirnya, pemuda dan rakyat membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan Amir sebagai kepala BKR dan Rajo Sampono wakilnya. Pada 20 Agustus 1945, di Kota Sawahlunto dilangsungkan penaikan bendera Merah Putih secara resmi.

Beberapa waktu kemudian, tentara BKR mulai melakukan persiapan untuk mengusir Jepang dari Sawahlunto. Salah satu tugas pertama Amir Jamin adalah melucuti tentara Jepang.  Namun, untuk mengemban tugas itu, Amir harus memastikan bahwa 200-an anggota BKR yang dipimpinnya memiliki perbekalan dan senjata yang kuat.

Amir bersama sejumlah anggotanya kemudian mencuri bahan-bahan peledak di gudang mesiu tambang batubara milik Ombilin. Aksi itu dilakukan setelah mereka berhasil mengelabui tentara Jepang yang menjaga gudang tersebut.

Bahan-bahan peledak yang biasa digunakan untuk kegiatan tambang batubara itu kemudian dibawa dengan satu unit truk ke markas BKR yang berada di luar pusat Kota Sawahlunto. Dengan bahan peledak itu, para pejuang kemudian merakit berbagai macam senjata.

Setelah dirasa pasukan BKR telah kuat, muncul keinginan dari para pejuang untuk menyerang tentara Jepang. Namun, terjadi perbedaan pendapat di sini. Ada pendapat yang menyebutkan tak perlu menyerang Jepang tetapi cukup dengan memblokade dan mengisolir tentara Jepang. Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa mumpung pasukan telah kuat dan Jepang sudah lemah, sehingga harus dihancurkan.

Akhirnya, aksi blokade dan boikot dipilih untuk mengusir tentara Jepang dari Sawahlunto. Jalur distribusi logistik, air, dan listrik diputus dari luar pusat kota. Aksi itu membuat tentara Jepang benar-benar terisolir. Hingga akhirnya, pihak BKR menawarkan perundingan dengan Jepang yang dilakukan di pusat Kota Sawahlunto. 

Di sana, tentara BKR menawarkan menjamin keselamatan Jepang asalkan bersedia menyerah dan meninggalkan Sawahlunto dan kembali ke negara asalnya melalui Padang. Jika tidak bersedia, maka BKR bersama rakyat dan pemuda akan menghabisi tentara Jepang yang sudah terisolir itu. Hingga akhirnya, tentara Jepang memilih opsi pertama yakni menyerah dan meninggalkan Sawahlunto.

Setelah Jepang pergi dan Belanda yang membonceng sekutu masuk dan ingin kembali menguasai Indonesia, maka para pejuang BKR yang telah menjadi anggota TNI itu bergabung dengan kesatuan-kesatuan lainnya yang ada di Sumatra Barat. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kembalinya Belanda kembali menguasai objek-objek vital, termasuk  salah satunya adalah tambang batubara Ombilin.

 

 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement