REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menyatakan kebijakan pertambangan mineral di Indonesia menghadapi tantangan berat dari dalam dan luar negeri.
"Kebijakan pemurnian mineral telah diberlakukan pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2014. Tepatnya, setelah Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) memberi kesempatan lima tahun agar industri membangun 'smelter' di Indonesia," tutur Hikmahanto dalam rilisnya kepada Republika, Rabu (13/8) pagi.
Saat ini, kebijakan pemurnian mineral itu telah dibawa oleh Newmont, perusahaan tambang Amerika Serikat (AS), ke arbitrase internasional, yaitu International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID).
Bahkan di Indonesia, lanjut Hikmahanto, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APMI) sedang membawa pasal yang mengatur kebijakan pemurnian ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Harapan mereka adalah pasal tersebut dibatalkan sehingga pengusaha pun leluasa mengekspor bahan mentah untuk dimurnikan di luar negeri,".
Hikmahanto menyatakan tantangan Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di bidang sumber daya alam memang berat.
Pasalnya, Keinginan Indonesia untuk tidak sekedar menjadi negara "penambangan", melainkan industri pertambangan dari hulu ke hilir, telah menghadapi banyak tantangan.
Tekanan dari negara besar seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS), papar Himmahanto, bertujuan membela kepentingan industri dalam negerinya meskipun kerap kali mengalahkan cita-cita mulia bangsa Indonesia.
Dalam hal ini, jrlas Hikmahanto, apa yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, dan Presiden Terpilih, Jokowi, bahwa UU Minerba adalah mandat rakyat Indonesia sudah sangat tepat.
"Pemerintah RI tidak dapat secara sepihak mengenyampingkan mandat rakyat hanya demi hidupnya industri pertambangan luar negeri, tegas Hikmahanto.
Hal terpenting, jelas Hikmahanto, adalah pemerintah Indonesia tidak boleh sekali-sekali menyerah dari tekanan luar negeri.