REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki cara pandang yang berbeda terkait dengan persoalan Agama Baha'i.
Kemenag melalui Badan Litbang Kemenag sudah melakukan kajian dan mengaui Baha'i sebagai agama. Sementara sejumlah ketua MUI menilai Baha'i sebaiknya tidak diakui sebagai agama, karena masih terkait dengan sekte dalam Islam.
“Kajian tentang Baha’I telah selesai, berdasarkan hasil kajian dan penelitian dari Badan Litbang Kemenag, Baha’i merupakan agama yang diakui dan dianut oleh sebagian warga Indonesia,” kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Machasin kepada Republika Online (ROL).
Berdasarkan kajian dan penelitian, menurut dia, Baha’i berada di luar Islam, makanya kelompok Islam tidak bisa menyatakan Baha’i sebagai ajaran sesat. “MUI hanya berbicara kalau itu Islam, kalau di luar Islam, dia tidak berhak mengatakan ini sesat atau tidak sesat,” ujarnya.
Pandangan ini berbeda dengan MUI. Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat, Muhyidin Djunaidi, menyatakan sangat tidak setuju jika Baha'i diakui sebagai agama oleh pemerintah RI.
"Baha'i merupakan perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan Islam. Jadi, sangat tidak setuju jika Baha'i diakui sebagai agama baru oleh pemerintah," tutur Muhyidin saat dihubungi Republika, Selasa (12/8) siang.
Menurut Muhyidin, Baha'i lebih tepat menjadi aliran kepercayaan saja, masuk di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ditinjau dari sisi kriteria aliran, Bahaisme bersifat sesat dan menyesatkan. Secara politis, lanjut Muhyidin, pengakuan resmi negara terhadap Baha'i akan menimbulkan banyak masalah di masa depan.