Oleh: Nashih Nashrullah
Empat puluh makanan itu diserahkan kepada utusan. Tetapi, bukan tidak percaya, si dokter hendak menguji kejujuran utusan. Ia berangkat dengan utusan ditemani pembantunya.
Setibanya di lokasi mereka tinggal, si dokter dan pembantunya tidak ikut masuk ke rumah. Ia berada di luar rumah tanpa sepengetahuan rombongan.
Begitu masuk, utusan tersebut disambut dengan riang. Perasaaan mereka campur aduk, senang sekaligus heran, bagaimana ia mendapatkan makanan sebanyak ini. Atas desakan para jamaah, utusan tadi akhirnya menceritakan kronologi kisahnya dengan lengkap.
“Jika begitu, maka apakah kalian rela menyantap makanan Nasrani ini dengan lahap, tanpa hadiah sedikit pun?” celetuk pemimpin rombongan.
Secara spontan, mereka menahan diri sejenak dari keinginan makan. Mereka semakin bingung, hadiah apa yang hendak diberikan sebagai balasan itu. “Berdoalah kalian semua kepada Allah, sebelum mengonsumsi makanan pemberiannya agar si dokter Nasrani diselamatkan dari api nereka,” kata pemimpin rombongan memberikan saran.
Ide brilian tersebut lantas diterima secara aklamasi. Para jamaah sufi pun berdoa, seperti yang telah disepakati bersama. Doa mereka hanya satu, agar Allah menyelamatkan dokter Nasrani yang baik hati tersebut dari api neraka.
Dari luar rumah, si dokter mendengar secara jelas percakapan mereka. Ia tergugah dengan sikap 40 jamaah sufi yang tidak rakus dengan makanan. Meski mereka kelaparan, malah menahan diri dan mendoakan keselamatan dirinya.
Tak menunggu lama, ia segera mengetuk pintu dan masuk rumah, lalu mengungkapkan kekagumannya. Di hadapan para jamaah sufi itu, sang dokter Nasrani menyatakan keislamannya dan berikrar syahadat.
Kejadian ini, selain menunjukkan tentang kezuhudan segenap rombongan sufi, sekaligus menegaskan bahwa doa agar seseorang mendapat hidayah diperbolehkan sekalipun objek yang didoakan merupakan non-Muslim.