Oleh: Amri Amrullah
Masa-masa menimba ilmu yang dilalui Annangguru cukup berat. Penuh perjuangan. Ia sering kali merantau ke luar wilayah dan beberapa tempat di nusantara hanya untuk menuntut ilmu di negeri orang.
Ia juga pernah berlayar ke Sumatra untuk menuntut ilmu. Pengalaman menuntut ilmu yang gigih inilah yang membuatnya menjadi seorang Annangguru yang bersahaja, disegani, dihormati, dan dicintai.
Ia juga dikenal memiliki karamah. Pada masa perjuangan gerilya, ketika penculikan marak dilakukan penjajah Belanda, KH Muhammad Saleh beberapa kali dapat menghindar dari kepungan mereka yang hendak menangkapnya.
Kesahajaan Anangguru tersohor. Seperti kisah sebagian muridnya, meski Anangguru adalah sosok ulama besar, ia tidak angkuh dan minta dihormati. Kebiasaan duduk di shaf utama dekat mimbar tidak ia lakukan. Di Masjid Polewali, justru terlihat duduk di bagian lain, tepatnya di bawah beduk. Pemandangan itu teramat mengesankan.
Berbeda dengan para ulama Jawa yang meninggalkan warisan pesantren besar. Ia tidak pernah membangun pesantren dan masjid khusus yang dijadikan sebagai pusat dakwah. Annangguru Saleh meninggalkan kelompok masyarakat Mandar yang ia dakwahi selama ini.
Rumah pribadi KH Muhammad Saleh terdapat di pusat Kota Majene. Ia pegawai negeri di Mahkamah Syariah Majene. Ia pernah bekerja sebagai syara' di Majelis Pertimbangan dan Naib di Balanipa, kadi di Mamuju, dan kepala urusan agama di Pambusuang, selain sebagai guru pesantren (1942-1950).
Sedangkan, kampung halamannya berada di Pambusuang. Di sanalah sebagian besar kerabatnya berdomisili. Di tanah kelahirannya itu pulalah ia dimakamkan pada 10 April 1997. Ribuan pengikut tarekat Qadiriyah secara rutin menghadiri haul Annangguru yang berlangsung tiap 10 April di kompleks pemakamannya.