REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga survei akhir-akhir ini disebut lebih banyak digunakan untuk provokasi dan penggiringan opini masyarakat untuk kepentingan politik tertentu. Karena meski ilmiah, riset tetap bisa disalahgunakan sesuai kepentingan tertentu.
"Survei yang dilakukan sebelum dan sesudah pilpres sekarang ini lebih sebagai provokasi politik dan penggiriangan opini masyarakat untuk mempercayai hasil rekapitulasi yang sudah ditetapkan oleh lembaga yang memiliki otoritas, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU)," ujar Direktur Index Indonesia, A Agung Prihatna di Jakarta, Kamis (14/4/2014).
Ia menyebut survei yang dilakukan oleh LSI Network atau SMRC setelah pilpres. Di survei itu dikatakan, kalau pilpres diulang, maka Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan jauh tertinggal dari Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
"Survei itu hanya sebagai provokasi politik dan penggiringan opini masyarakat untuk mempercayai hasil rekapitulasi suara yang sudah ditetapkan KPU. Dan, masyarakat akan takut mendukung apa yang telah ditetapkan oleh KPU," ujarnya.
Karena itu matan peneliti LP3ES itu meminta masyarakat agar berhati-hati membaca dan memahami hasil survei. Sebab, survei terletak pada metodologi dan teknis pengumpulan data yang bisa diatur oleh lembaga survei.
"Sampel-sampel di daerah terpencil dan sulit biasanya ditinggalkan, karena masalah efisiensi, akibat komersialisasi dan bias industri survei," tambahnya.
Menurut Agung, kalau banyak lembaga survei menggelar konpres, berarti ada target provokasi dan penggiringan opini publik. Padahal harusnya survei terkait kepentingan bangsa dan negara.
"Bukannya untuk kepentingan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain, kecuali ada transaksi," kata Agung.
Agung menduga kuat survei yang dilakukan usai pilpres dan ketika MK sedang menyidangkan gugatan sengeketa pemilu karena adanya permainan dan transaksional tersebut.
Sebab, survei yang ideal itu adalah yang tidak diumumkan ke masyarakat. Melainkan hanya untuk kepentingan internal perusahaan, lembaga, bangsa dan negara.