Jumat 15 Aug 2014 02:17 WIB

Novela Dibully Sama Saja Rendahkan Bangsa Sendiri

Novela Nawipa bersaksi dalam sidang lanjutan perselisihan hasil Pilpres 2014 di gedung MK, Selasa (12/8).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Novela Nawipa bersaksi dalam sidang lanjutan perselisihan hasil Pilpres 2014 di gedung MK, Selasa (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang lanjutan sengketa Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/8), kubu Prabowo-Hatta menghadirkan 25 saksi. Salah satunya adalah Novela Nawipa. Novela merupakan saksi mandat tempat pemungutan suara Kampung Awaputu, Kabupaten Paniai, Papua.

Dengan segala kekhasan yang dimilikinya, Novela disebut hakim konstitusi mampu menghadirkan warna lain dalam sidang yang selama ini terkesan tegang. Novela memberikan keterangan di depan majelis hakim konstitusi dengan gaya ceplas-ceplosnya. Bahkan, kesaksikan Novela mengundang gelak tawa seisi ruang sidang, termasuk hakim konstitusi.

Dampak kehadiran Novela membuatnya langsung terkenal. Dia menjadi perbincangan hangat di media sosial (medsos), baik Facebook maupun Twitter. Fotonya pun beredar luas di masyarakat. Sayangnya, tak sedikit masyarakat pengguna medsos mem-bully Novela.

Seorang komposer yang aktif di media sosial, Tya Subiakto menilai, kehadiran Novela layak diapresiasi. Pasalnya, kesaksiannya mengajak masyarakat Indonesia untuk sama-sama mencermati terjadinya kecurangan yang dilakukan penyelenggara pemilu di daerah.

Tya menyayangkan, pada akhirnya Novela dijadikan bahan ejekan di medsos yang seakan-akan dikesankan sebagai orang lugu dari pegunungan, tetapi menjadi pengurus partai dan memiliki akun Facebook. "Salahnya apa kalau dia punya Facebook dan menjadi pengurus partai? Apakah dia tidak boleh bersaksi," katanya ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (14/8).

Tya yang juga berprofesi sebagai sutradara tersebut menyatakan, Novela punya hak yang sama dengan seluruh bangsa Indonesia yang lain untuk memiliki akses komunikasi di medsos. Bahkan, ia juga punya hak politik sebagaimana warga masyarakat lainnya untuk menjadi pengurus partai maupun sebagai calon anggota legislatif.

"Karena itu, Bully-an masyarakat pengguna Facebook dan Twitter terhadap Novela di luar dari substansi kesaksiannya dia di MK. Bisa saja bully-an itu hanya untuk mengalihkan isu dan muncul rasa ketakutan bila kesaksian Novela terbukti benar," ujarnya.

Bahkan, lanjut dia, kalau didalami lagi, pihak yang mencemooh Novela sama saja merendahkan saudara kita di Papua. "Mereka yang hidup di Papua, apalagi yang tinggal di pegunungan, kalau punya Facebook itu aneh. Kesannya saudara-saudara kita di sana sangat terbelakang. Sama saja merendahkan bangsa sendiri kan namanya," sesal Tya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement