REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar gender Nani Nurrachman menyatakan perempuan yang terjun ke dunia politik tidak perlu menjadi maskulin atau mengadopsi sifat laki-laki untuk eksis.
"Justru perempuan perlu mengetengahkan sisi perempuannya dalam berpolitik untuk memberikan keseimbangan kosmik dalam politik," kata Nani dalam diskusi yang digelar Universitas Atmajaya bekerja sama dengan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) di Jakarta, Senin (19/8).
Menurut dia, seringkali perempuan yang terjun dalam dunia politik tercerabut dari karakternya sebagai perempuan dan lebih mengadopsi sifat-sifat laki-laki untuk eksis dalam politik. Ekspresinya bisa dalam bentuk kekerasan, oportunistik dan sebagainya.
"Perempuan itu identik dengan preservasi, pertumbuhan, dan penerimaan sosial. Mestinya hal-hal itulah yang perlu diketengahkan oleh perempuan dalam politik," kata pengajar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta itu.
Peneliti gender dari Cornell University USA Rebakah Daro mengatakan membicarakan gender adalah membicarakan soal perempuan dan laki-laki, jadi harus menghadirkan kedua-duanya.
Rebakah, yang sedang meneliti soal gender pada suku Badui di Jawa Barat, mengemukakan bahwa keseimbangan peran perempuan dan laki-laki sangat penting dalam mendukung ketahanan pangan di masyarakat suku pedalaman.
Perempuan memegang peranan penting dalam memanaj keseimbangan produksi dan konsumi. "Perempuan biasanya lebih peka dalam menjaga keseimbangan alam," kata kandidat doktor itu.
Anggota DPR terpilih dari PKB Nihayatul Wafiroh memaparkan pengalamannya sebagai seorang perempuan yang berjuang mendapatkan suara menjadi caleg. Menurut dia, sebagai caleg perempuan, ia merasa lebih banyak tantangan karena seringkali dipandang miring oleh masyarakat yang mempertanyakan peran publiknya.
"Masyarakat banyak yang bertanya kepada suami saya, kok diizinkan untuk nyaleg, apakah urusan rumah tangganya tidak keteteran?" ungkap lulusan Universitas Hawaii USA tersebut.