REPUBLIKA.CO.ID,
Pada masa jayanya, Gaza menjadi salah satu pusat berkembangnya peradaban.
Karena perdagangannya dengan Mesir menurun drastis, tempat ini menurun selama zaman perunggu muda. Gaza kemudian menjadi ibu kota administrasi Mesir di Kanaan. Selama pemerintahan Raja Tuthmosis III, kota ini menjadi tempat perhentian jalur karavan Suriah-Mesir.
Selama 350 tahun, Gaza dikuasai Mesir hingga akhirnya seorang Filistin mengambil alih kekuasaan ini pada abad ke-12 SM. Ia pun menjadi salah satu dari pentapolis atau lima kota utama di daerah tersebut.
Pada zaman Seleukia, Seleukos I Nicator, atau salah satu penerusnya mengganti nama Gaza menjadi Seleucia untuk mengontrol daerah sekitarnya melawan pasukan Ptolemeus. Budaya Yunani kemudian berakar di sana dan Gaza terkenal sebagai pusat pelajaran dan filsafat Helenik.
Berdasarkan hasil ulasan dalam pameran bertajuk Gaza at the Crossroads of Civilizations yang diselenggarakan Museum Sejarah dan Seni di Jenewa, Swiss, pada 2007, kurator pameran Marc-Andre Haldimann mengatakan, Gaza pernah menjadi pintu penghubung dunia.
Sejarah juga mencatat, Gaza pada masa jayanya pernah menjadi salah satu pusat peradaban dan pengetahuan. Banyak filsuf, teolog, hingga musisi lahir dan berkarya di sana. Sungguh sesuatu yang kontras dengan kondisi Gaza saat ini.
Pada 734 SM, Raja Assyria mengambil alih wilayah Gaza dan menjadikannya perbatasan selatan. Batas ini lalu dijadikan jalan masuk Persia ke Gaza pada 539 SM.
Invansi-invasi ini justru membuat perekonomian Gaza berkembang pesat sebagai pelabuhan dagang dan penghubung jalur perdagangan kertas dan bahan mentah di Palestina dari Hadramaut atau Yaman. Ekspor dari Gaza ke Eropa sejak 5 M mendorong para teolog Eropa untuk belajar ke sana.
Kehadiran Islam pada 637 M tidak membuat Gaza berhenti menjadi pusat pertemuan berbagai budaya. Bahkan pada sekitar 700 M, Gaza melahirkan seorang imam besar, yakni Muhammad Syafi'i.
Gaza kemudian berpindah ke dalam penguasaan pasukan Salib pada abad ke-11. Pasukan Muslim berhasil mengambil alih Gaza hingga era Kesultanan Turki Utsmani yang menjadikannya titik perhentian utama dalam rute perjalanan haji.