REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bidang kesehatan reproduksi mengenal istilah kontrasepsi darurat (emergency contraception). Istilah tersebut menjelaskan penggunaan obat dalam dosis dan waktu tertentu setelah terjadi hubungan seksual demi menghindari kehamilan yang tidak dinginkan.
Hal tersebut sempat dijelaskan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Agustin Kusmayati, terkait dengan polemik klausul pembolehan aborsi dalam kasus perkosaan, sebagaimana diatur dalam PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dimintai tanggapan soal kontrasepsi darurat yang dimaksud, rupanya Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi tidak mengetahui bahwa teknik kontrasepsi darurat legal di Indonesia.
Nafsiah membenarkan jika kontrasepsi darurat memang banyak dilakukan di negara-negara yang sudah maju.
"Kalau dia diperkosa pada masa subur, kemungkinan hamil besar, maka diberikan pil, tetap di negara kita itu belum lazim," ujar Nafsiah dalam jumpa pers di kantor Kemenkes, Selasa (19/8).
Tampak tidak yakin dengan arah jawabannya, Nafsiah mempertanyakan legalitas teknik kontrasepsi tersebut ke Kepala Bagian Penyusunan Perundang-Undangan Biro Hukum Kemenkes Sundoyo, yang duduk di dekat dia. "Di kita belum ada, ya, Pak? ujar Nafsiah bertanya.
Namun menurut Sundoyo, soal kontrasepsi darurat itu telah ada dalam aturan soal Keluarga Berencana (KB).
"Ternyata sudah ada aturannya. Jadi Kalau wanita tahu itu masa subur, dia bisa lakukan itu. Nanti saya periksa dulu aturannya, jadi boleh dilakukan di Indonesia, kita bisa dapatkan pelayanan itu sebagai pelayanan KB," ujar Nafsiah.
Sayangnya, Nafsiah sendiri tidak lanjut menjelaskan apakah kontrasepsi darurat bisa digunakan sebagai alternatif dalam kasus kehamilan akibat perkosaan atau tidak.