Rabu 20 Aug 2014 10:00 WIB

Allah pun Suka

Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya
Foto: Net/ca
Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA*

 

“... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 3:134).

 Hari Raya Idul Futri memiliki kesan tersendiri bagi setiap orang. Bagi Penulis, lebaran tahun ini begitu bermakna. Empat tahun tidak mudik ke kampung nun jauh, Patihe, Sei. Kanan, Labusel, Sumut.

Perjalanan selama tiga hari tiga malam menelusuri jalan lintas timur Sumatera. Sebagian besar masjid nan megah di berbagai kota pun disinggahi, meski sulit menemukan masjid yang bersih.

Menjadi Imam dan Khatib Shalat Ied di pinggiran tebing yang curam dikelililingi sungai yang bening. Lalu, ziarah ke kuburan kedua orang tua tercinta.

Doa disertai derai air mata kerinduan pun dipanjatkan. Kiranya mereka dikumpulkan kelak bersama para Nabi, as-Shiddiqin, asy-Syuhada wa ash-Shalihin. Amin. 

 

Silaturrahim menjadi misi utama perjalanan ini. Menurut Pakar Tafsir, Tuan Guru Prof Dr M Quraish Shihab, dalam buku Membumikan Al-Qur’an, silaturrahim terambil dari kata shilat dan rahim.

Shilat (washl) artinya menyambung dan menghimpun. Berarti hanya yang terputus dan terserak yang dituju kata shilat. Kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang menjadi peranakan (kandungan).

Biasanya, anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Silaturrahim berintikan rasa kasih sayang yang diwujudkan dengan pemberian atau hadiah yang tulus.

Nabi SAW. pernah berpesan : Laysa al-muwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwashil ‘an tashil man qatha’ak. Artinya, bukanlah bersilaturrahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang terputus (HR. Bukhari). Demikian pula keuntungan silaturrahim akan menambah keberkahan umur dan rezki. (HR. Bukhari).

Dalam hidup ini, Kita akan menghadapi sikap manusia yang buruk dan menyakitkan. Apalagi keburukan itu dari orang yang sepatutnya berbuat baik kepada kita atas segala kebaikan yang pernah diberikan. Air susu di balas air tuba, begitu kata pepatah.

Nabi SAW. juga pernah merasakan sakit hati yang sangat, ketika Paman tercinta Hamzah ra, disayat-sayat hatinya lalu dikunyah oleh Hindun. Beliau pun bertekad untuk membalas lebih dari perlakukan itu. Tapi Allah SWT menegurnya agar bisa bersabar (QS.16:126).

 

Al-Qur’an memberi petunjuk, bagaimana sepatutnya menyikapi keburukan atau kesalahan orang lain. Mereka yang mampu melakukan akan termasuk orang yang disukai oleh Allah SWT dan patut diberi ganjaran surga (QS.3:133-136). 

Dalam Tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab menyebutnya sebagai kelas atau jenjang sikap manusia. Penulis rumuskan dengan empat  M. Tiga merujuk ke surah Ali Imran : 134 dan satu ke Surat an-Nuur : 22. 

Pertama, Menahan amarah (al-kazhimin al-ghaidzo). Kata al-Kadzhimin menunjukkan makna penuh dan “menutupnya dengan rapat”, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat agar tidak tumpah.

Artinya, perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikiran masih menuntut balas. Tetapi ia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikirannya.

Dia menahan diri sehingga tidak mencetuskan kata-kata buruk atau perilaku negatif. Orang yang tidak mampu menahan amarah (emosi), akan membayarnya lebih mahal dari tindakannya.

Kedua, Memaafkan kesalahan (al-‘aafina ‘an an-naas). Kata maaf berasal dari al-afwu yang artinya menghapus. Karena yang memaafkan akan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan jika masih ada tersisa bekas luka di dalam hati dan dendam yang membara.

Pada hakikatnya, kita diperintahkan memberi bukan meminta maaf. Memberi maaf itu tindakan terpuji, dan meminta itu terhinakan.

Karenanya, memberi maaf kepada orang yang melakukan kesalahan, sebelum ia meminta maaf adalah sikap terpuji. Bagi yang melakukan kesalahan, akuilah dengan jujur dan kembalikan apa yang pernah diambil darinya. 

Ketiga, Melapangkan dada (al-shafhu). Sikap ini lebih tinggi dari memaafkan (al-afwu). Kedua kata ini disandingkan dalam satu ayat. “Hendaklah kamu memaafkan dan melapangkan dada.” (QS.24:22). 

Al-shafhu berarti kelapangan. Dari kata ini pula muncul shafhat (lembaran atau halaman) dan mushafahat (berjabat tangan).

Dengan demikian, orang yang melakukan al-shafhu dituntut untuk melapangkan dadanya, sehingga mampu menampung segala ketersinggungan dan dapat menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

Keempat, Melakukan kebaikan (ihsan). Inilah tingkat tertinggi dari sika-sikap terpuji terhadap kesalahan orang lain. Bukan hanya menahan amarah, memaafkan dan melapangkan dada, namun mampu berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk.

Juga, menjalin silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.  Kata yuhibbu (mencintai) sebanyak 18 kali dalam al-Qur’an dan lima kali ditujukan kepada al-muhsiniin (orang-orang baik). Yakni orang yang berbuat baik kepada orang bersalah atau berbuat lebih baik kepada orang yang telah berbuat baik.  

Keempat sikap terpuji di atas adalah karakteristik orang-orang bertakwa (al-muttaqin) sebagai tujuan akhir dari ibadah puasa (QS.2:183) dan seluruh ibadah dalam Islam. Oleh karena itu, sikap terpuji ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang bertakwa kepada Allah SWT. 

Insya Allah, detak jantung akan normal, aliran darah lancar, nafas akan lega, pikiran jernih dan otot terasa rileks. Kinerja  meningkat, rezki bertambah dan umur jadi berkah. Allahu a’lam bish-shawab.

*Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement