REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak lama, pondok pesantren sudah mandiri. Kemandirian ini yang patut dicontoh lembaga pendidikan lainnya.
“Pengurus pesantren memang punya tantangan yang tidak sederhana, namun kalau menjalaninya dengan ikhlas, rasanya ringan-ringan saja,” kata Kepala Pondok Pesantren Nurul Iman Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat Jaeni Marjuki kepada ROL saat dihubungi melalui telepon pada Jumat (22/8).
Dalam memeroleh dukungan dana operasional, ia masih mengandalkan dana mandiri dan dari masyarakat. Terhadap pemerintah, ia belum mau berharap banyak. Sebab jalur birokrasi di pemerintahan yang dirasa rumit menyulitkannya memeroleh bantuan dana. Terlebih, Ponpes di mata Negara masih berstatus non formal dan tidak ada aturan tegas soal teknis perhatian pemerintah terhadap pesantren.
Beberapa waktu lalu, ia mengaku kerap mengajukan bantuan kepada pemerintah. Namun ada prosedur tak tertulis seperti harus “dikawal”, “dititip” dan diberi “uang lelah” namun hasilnya nihil. Padahal ia tahu, banyak program pemerintah untuk penyelenggara pendidikan non formal dalam bentuk bantuan sosial. Makanya ia kemudian kapok.
Tanpa bantuan pemerintah, pesantrennya diupayakan mandiri dan tetap menjaga kualitas. “Kita harus buka hubungan dengan masyarakat, donatur dan kalau bisa dari luar negeri juga,” katanya. dengan begitu, kegiatan para santri, dari mulai melaksanaan ibadah wajib harian, membaca Alquran, belajar kitab kuning dan bahasa Arab serta inggris dapat berjalan tanpa hambatan.