REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 81/2012 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga membatasi pengalokasian anggaran belanja bantuan sosial pada kementerian negara/lembaga, yaitu hanya untuk hal-hal yang bersifat risiko sosial.
Sehingga, hanya kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Wakil Sekretaris Baznas Fuad Nasar menyatakan, organisasi dan pranata keagamaan umat Islam yang selama ini mendapat bantuan adalah yang paling terkena dampak diberlakukannya Permenkeu dan segala aturan atau kebijakan yang terkait dengan itu.
Dia menyatakan, hasil reviu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan Kemenag terkait bansos merekomendasikan seluruh alokasi bantuan sosial non-pendidikan pada Kemenag ditangguhkan sampai dengan diterbitkannya regulasi terkait.
Kecuali, bantuan untuk Badan Wakaf Indonesia (BWI), Baznas pusat, dan Badan Pengelola Masjid Istiqlal sebagai masjid negara yang bisa dicairkan, smabung dia, bantuan APBN yang ditangguhkan cukup banyak, yaitu bantuan untuk MUI, ormas Islam, Badan penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), bantuan masjid, bantuan Baznas daerah, dan honor penyuluh agama honorer.
"Peraturan Menteri Keuangan tentang Belanja Bantuan Sosial belum mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama organisasi dan pranata keagamaan umat Islam," kata Fuad dalam siaran pers kepada Republika Online, Ahad (24/8).
Menurut dia, langkah pemerintah untuk mencegah penyimpangan bansos yang marak belakangan ini patut diapresiasi, namun jangan menjadi bias yakni menjauhkan umat Islam dari sumber-sumber pendanaan negara. Korupsi bansos dan segala bentuk penyimpangannya oleh siapa pun, ujar dia, harus dicegah dan ditindak. "Tetapi jangan dengan perumpamaan memburu tikus dengan membongkar rumah."
Fuad menambahkan, dengan regulasi yang dikeluarkan tersebut, terkesan seolah menafikan organisasi keagamaan dan fungsi-fungsi agama di masyarakat, di luar pendidikan, yang perlu dibantu atau difasilitasi oleh negara. "Pertama, hemat saya, solusi yang perlu dilakukan ialah merevisi Permenkeu itu," ujar Fuad.
Kemudian, lanjut dia, Peraturan Menteri Dalam Negeri 32/2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu diperjelas implementasinya.
Sekurangnya, sambung dia, melalui surat edaran Menteri Dalam Negeri, terkait bantuan hibah kepada lembaga dan organisasi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasar kebijakan nasional.
"Kedua, membuat payung regulasi terkait dengan bantuan kepada organisasi keagamaan dan rumah ibadah mengingat perannya yang strategis dalam membentuk karakter bangsa dan memperkuat fondasi kehidupan bernegara sesuai Pancasila. Dalam kaitan ini, perlu dibuat Peraturan Menteri Agama sebagai pedoman belanja hibah dan bantuan sosial pada Kementerian Agama."
Untuk lebih aman, Fuad menyarankan, pemerintah perlu segera melengkapi payung hukum bantuan untuk organisasi keagamaan termasuk bantuan rumah ibadah dalam kondisi di luar kebencanaan. Karakteristik dan skala kebutuhan organisasi keagamaan Islam berbeda dengan organisasi agama lain yang memiliki sumber dana memadai dan tidak memerlukan keterlibatan negara.
"Jangan karena yang lain tidak diberi, maka dihapus semua. Ini dapat menimbulkan kekecewaan umat." sesal Fuad.