REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk memperluas perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara justru menekan penerimaan negara. Alasannya, negara-negara yang sebelumnya harus membayar bea masuk atau bea impor untuk memasukkan produk mereka ke Indonesia, kini tak perlu membayar bea masuk atau dikenakan separuh tarif.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menjelaskan, jumlah perjanjian perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Agreement) pada 2016 tercatat meningkat dibanding 2015. Ditjen Bea dan Cukai mencatat, 2016 lalu angka FTA sebesar 26,5 persen. Jumlah ini naik dibanding 2015 sebesar 23 persen.
Heru menyadari, kebijakan FTA di satu sisi memang dibutuhkan Indonesia untuk menggenjot kinerja perdagangan. Namun di satu sisi penerimaan dari sisi bea masuk ikut merosot. Realisasi penerimaan bea dan cukai secara menyeluruh pada 2016 tercatat sebesar Rp 178,72 triliun.
Angka tersebut mencapai 97,2 persen dari APBNP 2016. Rinciannya, penerimaan cukai sebesar Rp 143,5 triliun, bea masuk sebesar Rp 32,2 triliun, dan penerimaan dari bea keluyar sebesar Rp 2,99 triliun.
"Karena kalau kita lihat ekonomi global, perdagangan turun. Devisa impor itu turun 12 persen di tahun 2016 lalu. Yang itu juga sudah turun di tahun 2015, 22 persen. Maknanya apa? Tax base-nya juga pasti turun, dan itu akan pengaruhi bea masuk yang merupakan target kinerja kita," ujar Heru, Rabu (25/1).
Sebagai pembanding, capaian tahun 2015 sendiri sebesar Rp 179,5 triliun dan Rp 162,2 triliun di tahun 2015. Selain karena adanya faktor eksternal berupa anjloknya harga komoditas di tahun 2016, Heru juga menyebutkan bahwa penurunan peneriman bea cukai di tahun 2016 terjadi lantaran di tahun 2015, pelunasan cukai harus diselesaikan di tahun fiskal yang sama. Artinya, bila biasanya pengusaha membayarkan cukai di awla tahun, sejak 2015 lalu pembayaran tak boleh lewat dari penutupan tahun anggaran.