Jumat 27 May 2022 12:58 WIB

Pengamat Ini Dukung TNI/Polri Jadi Pejabat Gubernur, Asal Pusat Lakukan Ini

Militer bisa menjadi penguasa daerah dalam kondisi darurat perang.

Red: Muhammad Hafil
Pengamat Ini Dukung TNI/Polri Jadi Pejabat Gubernur, Asal Pusat Lakukan Ini. Foto:   Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah
Foto: Dok Republika
Pengamat Ini Dukung TNI/Polri Jadi Pejabat Gubernur, Asal Pusat Lakukan Ini. Foto: Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah menegaskan pemerintah pusat boleh menetapkan Pejabat Gubernur dari kalangan TNI/Polri aktif 

"Boleh saja, itu kewenangan pemerintah pusat. Tapi sebelum ditujukan Polri/TNI jadi PJ Gubernur, pusat umumkan dulu wilayah tersebut dalam keadaan darurat militer dan atau sipil," ujarnya, Jumat (27/5/2022).

Baca Juga

Ramdansyah menjelaskan penetapan penjabat gubernur secara terbuka dapat menunjuk TNI/Polri merujuk kepada kondisi keamanan atau kerawanan suatu provinsi.  

Ketentuan mengenai keadaan bahaya diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 23 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.

 Ada tiga tingkat bahaya yang ditetapkan oleh Perppu tersebut. Tingkat bahaya paling rendah adalah Keadaan Darurat Sipil dimana militer masih belum dilibatkan sebagai penguasa daerah. 

Keterlibatan militer sebagai penguasa daerah dilakukan ketika suatu daerah menjadi Darurat Militer dan Darurat Perang. 

"Dalam kondisi sekarang ini, ketiga kondisi bahaya ini tidak terjadi, sehingga alasan penempatan TNI/Polri sebagai Penjabat Gubernur tidaklah beralasan," ujarnya.

Ramdansyah mengingatkan penetapan Penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan sesuai Pasal 210 UU No. 10 tahun 2016  harus berdasarkan Peraturan teknis yang cermat. 

Peraturan teknis yang dibuat pemerintah tentunya harus sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). 

Mahkamah Konsitutsi (MK) sudah menyampaikan hal tersebut dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021. 

Pertimbangan itu menyebutkan Pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhatikan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut pasal 201 UU No. 10 tahun 2016.

Peraturan Pelaksana dibutuhkan sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsil-prinsip demokrasi.

Mekanisme pengisian penjabat juga harus terbuka, transparan dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah

"Poinnya  diharapkan peraturan pelaksana tidak merugikan hak-hak kebebasan sipil dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku," tambahnya.

Ia menilai tidak adanya peraturan teknis menjadi penyebab pengisian Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota dari pimpinan tinggi madya Pegawai Negeri Sipil  menjadi multi interprestasi.

Ia mencontohkan saat pemerintah menganggap penunjukan anggota Polri aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat oleh Mochamad Irawan tahun 2018 adalah dibenarkan.  

"Hal itu adalah preseden yang perlu dievaluasi oleh Pemerintah. Apakah keputusan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian?," lanjutnya.

Ia menjelaskan  Pasal 28 ayat 3 dari UU itu menegaskan “anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.

Kenyataannya, Komjen Pol. Mochamad Irawan saat diangkat menjadi Pejabat Gubernur Jabar masih tetap aktif sebagai anggota TNI/Polri.

"Sebagai anggota Kepolisian aktif saat itu ia harus tunduk pada UU Kepolisian,," tegasnya 

Ramdansyah menegaskan  posisi aktif di Kepolisian lalu diangkat sebagai pejabat gubernur dapat mengurangi kebebasan sipil juga berlaku terhadap anggota TNI. 

Ketentuan Pasal 47 UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Ketentuan ini menyebutkan bahwa Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. 

"Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil yang membidangi kordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional dewan pertahanan  nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung," tambahnya.

Ramdansyah sependapat dengan  Pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono yang menegaskan pertimbangan hukum MK merupakan bagian dari penafsiran konstitusional yang mengikat. 

Apabila eksekutif masih melakukan pelanggaran terhadap putusan MK, maka MK sudah selayaknya tidak menjadi negatif legislator, tetapi juga positif legislator.

"Mahkamah Konstitusi tidak hanya berproses mengadili apakah UU bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 (membatalkan norma), tetapi MK dapat membuat norma bahwa pengangkatan TNI/Polri adalah melanggar ketentuan konstitusi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement