Jumat 15 Apr 2022 10:53 WIB

Susun APBN 2023, Menkeu Ingatkan Dampak Perang Ukraina-Rusia

Sri Mulyani singgung krisis pangan akibat naiknya harga komoditas di beberapa negara.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Erik Purnama Putra
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, kondisi pandemi di Indonesia pada 2023 nanti diharapkan terus menurun dan mulai memasuki periode endemi. Kondisi itu dapat membantu mengurangi beban dan tekanan terhadap masyarakat dan juga perekonomian Indonesia yang sedang menyusun anggaran pembangunan belanja negara (APBN) 2023.

Kendati demikian, Sri Mulyani memperingatkan munculnya risiko baru akibat perang Ukraina dan Rusia serta ketegangan geopolitik. Kondisi tersebut berdampak pada kenaikan harga komoditas serta kenaikan inflasi yang tinggi di seluruh dunia, terutama di negara maju.

"Kenaikan komoditas dan inflasi yang tinggi menyebabkan pengetatan kebijakan moneter baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga yang kemudian akan menimbulkan potensi volatilitas arus modal dan juga nilai tukar serta tekanan pada sektor keuangan," kata Sri usai rapat terbatas rancangan rencana kerja pemerintah dan pagu indikatif tahun 2023 di kantor Presiden, Jakarta Pusat, Kamis (14/4).

Kondisi tersebut, kata dia, akan berdampak pada pemulihan ekonomi yang melemah secara global. Berdasarkan proyeksi berbagai lembaga OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah satu persen dari sebelumnya 4,5 persen, menjadi hanya 3,5 persen.

Sedangkan Bank Dunia juga merevisi ke bawah dari 4,4 persen ke 3,5 persen. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah dari 4,4 persen ke 3,1 hingga 3,7 persen.

Sedangkan dari sisi inflasi justru akan mengalami kenaikan. Bank Dunia memperkirakan inflasi di negara maju akan naik dari 3,9 persen ke 5,7 persen. Sedangkan di negara berkembang bakal mengalami tekanan inflasi dari 5,9 persen ke 8,6 persen.

Menurut Sri, kondisi itu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit. Di berbagai belahan dunia, kata dia, sudah mengalami tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas.

"Seperti di Middle East atau Timur Tengah dan Afrika Utara di mana mereka mengimpor 80 persen dari makanan atau wheat gandum berasal dari Rusia dan Ukraina, sekarang mereka menghadapi situasi tekanan terhadap supply makanannya. Dan ini terjadi pada saat sesudah dua setengah tahun mengalami pandemi," jelas Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement