REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi mendaftarkan gugatan Undang-Undang MPR, DPR,DPD, DPRD (UU MD3) No 17 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat pasal 84 yang membahas tentang pimpinan DPR yang dipilih secara voting.
Sebelumnya, pada UU No 27 tahun 2009, pimpinan DPR (Ketua) dipilih berdasarkan partai politik yang mendapatkan suara terbanyak pertama di DPR.
Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan dari sisi praktek ketatanegaraan, (pasal 84) UU MD3 yang mengatur pemilihan (pimpinan) ketua DPR secara voting tidak bisa dikatakan inkonsistitusional. Pasalnya, praktek pemilihan tersebut sudah pernah dilakukan pada pemilihan pimpinan (ketua) DPR 2004.
“Dari sisi praktek ketatanegaraan, memang kita tidak bisa mengatakan praktek pemilihan itu inkonsistitusional, karena kita melakukannya pada pemilihan (ketua) DPR pada 2004,” ujar Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun saat dihubungi Republika, Ahad (24/8).
Namun, menurutnya, dari sisi moralitas konstitusional, perubahan (revisi) UU MD3 tidak etis bahkan bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, perubahan dilakukan setelah hasil pemilu diketahui. Sehingga hal yang wajar dan sah-sah saja jika PDIP menggugat dari perspektif konstitusional dan moralitas konstitusional.
“Sangat tidak etis, anggota DPR sekarang mengubah peraturan setelah hasil pemilu diketahui,” katanya.
Meski begitu, ia menuturkan peluang untuk gugatan PDIP terhadap UU MD3 tersebut di MK tetap ada. “Peluang menang itu tetap ada dan besar,” ungkapnya.