REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Opsi perampingan kabinet yang diwacanakan tim transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) merupakan tantangan. Khususnya untuk melakukan negoisasi politik dan merealisasikan model kabinet yang ia inginkan.
Karena dalam proses perampingan kabinet, akan banyak kepentingan politik dan birokrasi yang harus diatur dengan baik.
Pengamat politik Universitas Paramadina, Abdul Malik Gismar menjelaskan, sebagai presiden Jokowi seharusnya memiliki hak prerogatif dalam menentukan kabinet.
Namun, opsi perampingan kabinet akan memaksa Jokowi untuk melakukan negoisasi politik. Karena, upaya perampingan kabinet pasti akan mengalami hambatan teknikal.
Misalnya, penggabungan dua hingga tiga kementerian menjadi satu. Kesulitannya, setiap perubahan yang dilakukan dengan menghilangkan fungsi dan tugas lembaga atau perorangan maka akan menimbulkan gejolak.
"Perampingan kabinet ini merupakan upaya yang baik. Ini dapat menghilangkan double job, pembagian tugas menjadi jelas dan dapat menghilangkan budget yang tidak perlu," ujar Malik saat dihubungi Republika, Selasa (26/8).
Jika perampingan kabinet terealisasi, katanya, maka akan ada dampak positif yang dirasakan. Selain penghematan anggaran, kebijakan juga akan lebih terintegrasi.
Sehingga akan lebih cepat untuk pengambilan keputusan kebijakan. Pekerjaan kementrian pun akan lebih efisen dan efektif.
Menurut Malik, tak ada angka ideal untuk jumlah kementerian yang baik bagi suatu pemerintahan. Hal tersebut tergantung kepada visi dan misi suatu pemerintahan.
"Saya nggak lihat ada magical number untuk jumlah kementerian yang ideal. Tergantung kebutuhan presiden, bukan berarti bisa sangat banyak dan sangat sedikit," katanya.