REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur mengatakan MA merasa khawatir dengan jumlah hakim adhoc yang minim di pengadilan di seluruh Indonesia. Namun, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena kewenangan merekrut hakim adhoc ada di panitia seleksi independen.
“Tahun lalu, kita menerima sekitar 300 pendaftaran seleksi hakim adhoc akan tetapi yang lulus hanya satu. Sehingga kita khawatir benar dengan hal tersebut,” ujar Ridwan Mansyur kepada Republika, Kamis (28/8).
Ia menuturkan dengan satu hakim yang lolos, hal itu merugikan anggaran MA sejak penerimaan dan pengadaan hakim adhoc. "Jadi kalau kita menggelontorkan dana tapi cuma dapat satu hakim bagaimana,” ungkapnya.
Menurutnya, tahun ini, MA akan melakukan penerimaan hakim adhoc dibulan Oktober, November. Akan tetapi, menurutnya, jumlah hakim adhoc sendiri sangat terbatas. "Saat ini, MA sendiri mempunyai 383 hakim adhoc," katanya.
Ridwan pun mengatakan MA tidak dapat berbuat menyangkut hakim adhoc. Pasalnya, MA hanya sebagai pengguna (user) hakim adhoc yang disediakan panitia seleksi independen. Ia pun mempertanyakan keberadaan hakim adhoc dalam sistem peradilan Indonesia.
Pasalnya, keberadaan hakim Adhoc mulai menjadi beban bagi MA. Hal itu disebabkan, sulitnya rekrutmen dan minimnya jumlah hakim adhoc membuat perkara di pengadilan-pengadilan yang ditangani hakim adhoc menjadi menumpuk.
"Awalnya, Hakim adhoc dibentuk untuk membantu tugas hakim menangani perkara yang sifatnya khusus, seperti di Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, dan Pengadilan Niaga namun dirasa mulai menjadi beban bagi MA," katanya.