REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penahanan Florence Sihombing, yang berkata kasar tentang warga Yogyakarta melalui akun media sosial, bertentangan dengan Undang-Undang Indormasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Apabila tanpa ijin atau penetapan pengadilan maka ada kesalahan mendasar atas penahanan Florence, baik secara alasan objektif atas penahanan maupun prosedural berdasarkan UU ITE," kata peneliti senior ICJR, Anggara di Jakarta, Senin.
ICJR menilai bahwa Penyidik yang melakukan penahanan kepada Florence harus berhati hati, karena ada prosedur khusus dalam UU ITE dimana penyidik harus terlebih dahulu meminta penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE.
ICJR menduga bahwa hal tersebut tidak dijalankan oleh Penyidik Kepolisian Daerah Yogyakarta, dalam kasus Florence."Secara objektif, jelas penahanan Florence bertentangan dengan Pasal Penahanan yang diatur dalam UU ITE," kata Anggara.
Untuk kasus Florence berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
"Ini berarti tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Jogjakarta, maka ?penahanan kepada florence tidak sah," jelas anggara.
Untuk itu ICJR menilai, jika penahanan tersebut tanpa penetapan pengadilan maka Florence harus segera dilepaskan dari tahanan dan Florence memiliki hak untuk mengajukan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, yaitu mengenai tidak sahnya penahanan yang dilakukan terhadap Florence.
Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada mencela kota pelajar itu setelah aksinya menyerobot antrean saat mengisi BBM pada Rabu (27/8).
Dalam akun jejaring sosial Path miliknya, Florence menulis kekesalan dengan kata-kata mencela yang membuat orang-orang Jogja marah.