Senin 01 Sep 2014 22:55 WIB

Masyarakat Indonesia Toleran Terhadap Kesenjangan Pendapatan

Rep: C87/ Red: Djibril Muhammad
Politisi PDIP Maruarar Sirait didampingi Direktur Eksekutif LSI Kuskrido Ambardi saat rilis survei nasional bertema Ketimpangan Pendapatan di Indonesia, Harapan Publik terhadap Pemerintahanan Jokowi-JK di Jakarta, Senin (1/9).(Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Politisi PDIP Maruarar Sirait didampingi Direktur Eksekutif LSI Kuskrido Ambardi saat rilis survei nasional bertema Ketimpangan Pendapatan di Indonesia, Harapan Publik terhadap Pemerintahanan Jokowi-JK di Jakarta, Senin (1/9).(Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia termasuk toleran dalam hal perbedaan pendapatan berdasarkan hasil suvei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 27 Mei-4 Juni 2014. Sebanyak 66% responden setuju bahwa dalam keadaan tertentu perbedaan pendapatan bisa diterima.

"Jumlah mereka yang setuju ini jauh lebih besar dibanding mereka yang tidak bisa menerima perbedaan pendapatan sama sekali yakni sekitar 23 persen," kata Direktur Eksekutif LSI, Kuskridho Ambardi.

Hal itu disampaikan dia, dalam acara Rilis Survei Nasional bertajuk Survei Opini Publik Persepsi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia / Inequality Perception Survey in Indonesia, di Hotel Pullman Jakarta Pusat, Senin (1/9).

Hasil survei tersebut, hampir semua variabel demografi tidak atau hanya sedikit sekali berpengaruh terhadap tingkat toleransi responden terhadap perbedaan pendapatan. Variabel tersebut antara lain gender, tempat tinggal (desa-kota), wilayah geografis (Jawa-luar Jawa), agama, usia dan pendidikan.

Variabel pendidikan dan etnisitas justru membawa perbedaan atas sikap toleran responden terhadap perbedaan pendapatan. Mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung bisa menerima perbedaan pendapatan. Sebab mereka lebih siap berkompetisi dan memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.

Sedangkan efek variabel etnisitas, kata Kuskridho, cukup di luar dugaan. "Ternyata suku Jawa bukan yang paling toleran terhadap perbedaan pendapatan. Suku Melayu, Betawi, Batak dan minang tergolong yang lebih bisa menerima perbedaan pendapatan," ungkapnya.

Konteks dimana perbedaan pendapatan bisa diterima cukup beragam. Namun, yang paling utama adalah jika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokok (23,6%), jika kemiskinan berkurang (17,7%) dan bangsa Indonesia secara keseluruhan mengalami kemajuan (17,5%).

"Alasan lain untuk bisa menerima perbedaan pendapatan lebih berkaitan dengan prinsip keadilan, yakni jika kompetisi untuk mendapatkan kekayaan dilakukan dengan adil, serta jika kekayaan dihasilkan oleh kerja keras dan kemiskinan oleh kemalasan, bukan sesuatu yang lain," terangnya.

Populasi survei tersebut adalah seluruh warga negara Indonesia yang berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Jumlah sampel 3.080 orang dengan margin of error sebesar +- 1,8% pada tingkat kepercayaan 95%.

Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya 10 responden.

Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tersebut tidak ditemukan kesalahan berarti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement