Kamis 04 Sep 2014 19:15 WIB

Pengamat Penerbangan : Pesawat Kepresidenan Penting

Rep: c87/ Red: Bilal Ramadhan
  Pesawat Kepresidenan jenis Boeing Business Jet (BBJ)-2 saat tiba di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Kamis (10/4).  (Republika/Wihdan)
Pesawat Kepresidenan jenis Boeing Business Jet (BBJ)-2 saat tiba di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Kamis (10/4). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Pengamat Penerbangan, Jusman Syafii Djamal, mengimbau Tim Transisi meninjau kembali usulan rencana penjualan pesawat kepresidenan Boeing 737-900 pada pemerintahan Jokowi-JK. Pesawat tersebut sebelumnya dibeli Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharga 89,6 juta dolar AS atau sekitar RP 847 miliar.

Menurut Jusman, pesawat kepresidenan bukan persoalan harga melainkan tingkat keselamatan dan keamanan kepala negara yang harus dibedakan dengan penduduk lain. “Untuk apa dijual? Toh harganya tidak sampai Rp 1 triliun. Proteksi presiden dan wakil presiden harus lebih tinggi dari yang lain,” kata Jusman saat dihubungi Republika, Kamis (4/9).

Perlakukan kepada Presiden dan wakil presiden punya standart operational procedur (SOP) di dunia internasional. Pesawat kepresidenan diperlakukan secara berbeda pada lalu lintas penerbangan. Misalnya harus ada jeda penerbangan pesawat kepresidenan dengan pesawat komersial. Begitu juga saat kunjungan ke luar negeri, pesawat kepresidenan akan diperlakukan secara berbeda sesuai SOP internasional.

Jusman menekankan pesawat kepresidenan bukan persoalan pemimpin mau sederhana. Jika kepala negara menggunakan pesawat komersial akan banyak kendala. Kepala negara punya jadwal sendiri sehingga harus siap sewaktu-waktu bepergian.

Selain itu, penumpang yang bersama presiden di pesawat komersial akan direpotkan. Sebab harus melalui pemeriksaan yang ketat. “Ini penting agar mobilitas presiden tidak tergantung pada jadwal penerbangan komersial. Presiden itu puncak tertinggi pengambil keputusan masak jadwalnya ditentukan orang lain,” ujarnya.

Kalau pun jadi dijual, negara akan mengalami kerugian 20-30 persen. Sebab, ada perbedaan spesifikasi pesawat kepresidenan Indonesia beda dengan negara lain. Kalau mau dibeli presiden negara lain tidak akan cocok spesifikasinya. Sedangkan jika ada seorang direktur eksekutif ingin membeli pesawat tersebut terlalu mewah dan mahal.

“Kalau dipertimbangkan semua, punya pesawat khusus kepala negara jauh lebih baik. Jangan memandang dari segi biaya, kita seolah-olah memperlakukan kepala negara sama dengan warga negara yang lain. Treatmen-nya beda makanya kepala negara harus ada paspampres,” jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement