REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pembebasan bersayarat terhadap Hartati Murdaya paling kontroversial sepanjang era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Lembaga pegiat antikorupsi itu pun mendesak kemenkumham agar membatalkan pembebasan terpidana kasus suap pembebasan lahan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, tersebut.
Kordinator bidang hukum ICW, Emerson Yuntho mengatakan, sedikitnya terdapat 38 kali pembebasan bersyarat sepanjang pemerintahan SBY. "Jumlah itu kami duga bisa lebih banyak lagi," kata dia saat dihubungi, Senin (8/9).
Emerson mengatakan, pembebasan Hartati tergolong paling kontroversial. Sebab, pembebasan tersebut melanggar sejumlah ketentuan yang berlaku.
Misalnya, kata dia, Hartati tidak mendapatkan status justice collaborator dan rekomendasi dari aparat penegak hukum terkait dalam pembebasannya. "Dalam hal ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," ujarnya.
KPK kerap menyampaikan keberatannya terkait pembebasan bersayarat Hartati. Bahkan, lembaga antirasuah itu menyatakan akan mengirimkan surat keberatan resmi kepada kemenkumham.
"Yang terakhir saya mendengar pimpinan KPK akan mengajukan surat keberatan. Saya belum tahu apakah surat itu sudah disampaikan apa belum," ujar juru bicara KPK Johan Budi, Ahad (7/9).
Menurut Emerson, surat keberatan KPK semestinya cukup menjadi dasar untuk pembatalan pembebasan bersyarat Hartati. Ia pun mendesak menkumham Amir Syamsudin untuk mempertimbangkan surat tersebut secara serius. "Seharusnya surat keberatan itu cukup," papar Emerson.
Ia menilai, pembebasan bersyarat Hartati merupakan bukti inkonsistensi pemerintahan saat ini dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, pembebasan itu jelas-jelas mencederai rasa keadilan masyarakat.
Namun, kemenkumham masih bungkam terkait banyaknya terpidana korupsi yang mendapat pembebasan bersyarat seperti yang dilansir ICW.
Republika berupaya menghubungi Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Kemenkum HAM Handoyo Sudrajat. Namun, setelah dimintai konfirmasi via pesan singkat dan sambungan telepon, Handoyo tidak memberikan jawaban.