Senin 08 Sep 2014 17:44 WIB

Kemendagri Bisa Batalkan Qanun Jinayah, Kenapa?

Rep: Ira Sasmita/ Red: Citra Listya Rini
Masyarakat Aceh mendesak penerbitan Qanun Jinayah
Foto: acehterkini.com
Masyarakat Aceh mendesak penerbitan Qanun Jinayah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan qanun jinayah atau hukum pidana syariah Islam yang disepakati DPRA Aceh bisa saja dibatalkan Kemendagri. Aturan yang ditetapkan, akan dievaluasi oleh pemerintah pusat.

"Kalau sudah dievaluasi wajib direvisi, kalau enggak mau (direvisi) bisa kami batalkan. Kalau bertentagan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi dan mengganggu kepentingan masyarakat bisa saja dibatalkan oleh kami," kata Djohermansyah di kantor kemendagri, Jakarta, Senin (8/9).

Evaluasi Kemendagri sebelumnya, menurut Djohermansyah, tidak meloloskan beberapa aturan. Namun, kemendagri belum menerima draft rancangan terakhir dari qayun jinayah. Jika ada pasal-pasal yang disepakati DPRA namun bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) akan dibatalkan kemendagri.

"Kalau bertentangan dengan UU yang lebih tinggi dan kepentingan umum, termasuk melanggar HAM. Itu nanti akan kami batalkan," ujar Djohermansyah.

DPRA Aceh mengusulkan penerapan qanun jinayah diberlakukan untuk non-Muslim yang bermukim di Nanggroe Aceh Darussalam. Usulan tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (DPRU) antara Komisi G DPRA dengan elemen masyarakat di Banda Aceh, Sabtu (6/9).

Dalam Pasal 5 huruf c dalam rancangan tersebut penerapan regulasi lokal diberlakukan untuk non-Muslim. Disebutkan, warga non-Muslim yang melakukan pelanggaran syariat Islam yang diatur dalam qanun jinayat akan mendapat hukuman sesuai diatur dalam peraturan tersebut. 

Dalam Raqan Hukum Jinayah Pasal 3 ayat 1 disebutkan qanun tersebut mengatur tentang pelaku jarimah, jarimah atau uqubat (hukuman yang dapt dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah).

Pada ayat 2 dijelaskan, yang termasuk jarimah meliputi khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan tersembunyi antara dua orang  berlainan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara dua orang berlainan jenis yang bukan suami istri), zina, pelecahan seksual, dan pemerkosaan. 

Selanjutnya, qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi), liwath (homo seksual), dan musahaqah (lesbian). Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan qanun merupakan sub-sistem dari sistem nasional. Qanun merupakan peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. 

Namun, UUD 1945 juga mengatur tentang keistimewaan untuk beberapa daerah tertentu. Negara menghormati satuan pemerintah yang bersifat khusus dan istimewa. Seperti pemerintah daerah Aceh dan DIY Yogyakarta.

"Tetapi ketika bicara penerapan syariat Islam kita harus paham itu diperdakan. Tidak boleh bertentangan dengan institusi secara umum," ujar Refly.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement