Oleh: Hafidz Muftisany
Dalam penjelasan halhal yang membatalkan wudhu, kata laamastum dalam aulaamastum nisaa ditafsirkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyentuh perempuan.
Kala seorang sudah hidup berumah tangga, sikap romantis menjadi bumbu kehidupan. Tak jarang romantisme itu diwujudkan dalam bentuk sentuhan, pelukan, dan ciuman.
Kala sang suami hendak berangkat kerja, ciuman didaratkan di kening sebagai tanda sayang. Untuk menguatkan rasa kasih, genggaman tangan kadang lebih banyak berbicara.
Jika suami istri bisa berpegangan dan bersentuhan lebih bebas, bagaimana jadinya jika salah satu atau keduanya sudah berwudhu? Apakah batal seperti halnya bersentuhan dengan lawan jenis bukan muhrim lainnya?
Secara umum ada tiga pendapat berbeda dalam hal ini. Imam Syafi'i dan ulama dari kalangannya berpendapat bersentuhan kulit tanpa aling-aling, baik itu dengan istri sendiri, bisa membatalkan wudhu. Meskipun ia bersentuhan tanpa syahwat.
Imam Syafi'i, seperti ditulis Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa siapa yang menyentuh lawan jenisnya tanpa alat, baik menimbulkan berahi atau tidak, maka batal wudhunya. Di sisi lain, ada riwayat lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu, Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan semua mahram.
Dasarnya tafsir ayat 43 surat an-Nisa. Dalam penjelasan hal-hal yang membatalkan wudhu, kata laamastum dalam aulaamastum nisaa ditafsirkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai menyentuh perempuan, bukan bersetubuh dengan perempuan. Abdullah bin Mas'ud juga mengartikan laamastum selain jima',