REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Para buruh yang tergabung pada Aliansi Gerakan Buruh Berjuang menuding Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan pencitraan terkait dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2015 di Jateng tidak ada yang di bawah Rp1 juta.
"Pernyataan Gubernur Jateng tentang UMK 2015 di Jateng tidak ada yang di bawah Rp1 juta itu sangat ironis dan perlu kami dikritisi karena itu adalah pernyataan pencitraan di bidang perburuhan sekaligus pembohongan publik," kata Koordinator Umum Aliansi Gerakan Buruh Berjuang Nanang Setiyono di Semarang, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan data yang dimiliki Aliansi Gerakan Buruh Berjuang di Jateng hanya ada sepuluh kabupaten/kota yang UMK-nya kurang dari Rp1 juta.
"Dari UMK di sepuluh kabupaten/kota seperti Purworejo, Wonosobo, Rembang, Kebumen, Sragen, Wonogiri, Grobogan, dan Banjarnegara itu hanya membutuhkan tambahan nominal sebesar Rp15 ribu hingga maksimal Rp90 ribu untuk mencapai Rp1 juta," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nanang membantah pernyataan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang menyebutkan telah melibatkan Aliansi Gerakan Buruh Berjuang dalam penyusunan peraturan gubernur tentang kebutuhan hidup layak (KHL).
Menurut dia, Aliansi Gerakan Buruh Berjuang sama sekali tidak pernah diajak berdiskusi atau diundang baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Gubernur Jateng untuk membicarakan rancangan peraturan gubernur tentang KHL atau pengupahan.
"Sampai saat ini, kami belum pernah sekalipun diajak 'rembugan' apalagi dilibatkan dalam penyusunan sebuah kebijakan dan pernyataan Gubernur yang kemudian diberitakan di berbagai media massa itu sangat merugikan bagi Aliansi Gerakan Buruh Berjuang pada khususnya, dan kaum buruh pada umumnya," katanya.
Aliansi Gerakan Buruh Berjuang, kata dia, justru telah beberapa kali memberikan masukan kepada Gubernur Jateng, baik diminta maupun tidak, namun sampai sekarang tidak ada satupun dari keseluruhan konsep yang disampaikan itu didiskusikan.
"Konsep atau gagasan atau kritik yang kami sampaikan seharusnya disikapi dengan dialog tatap muka, bukan dengan pernyataan sepihak di media massa maupun media sosial karena hal tersebut tidak mencerminkan intelektualitas, negarawan, apalagi memahami rakyat pekerja," ujarnya.