REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial, Suwardi mengatakan, perubahan status kepegawaian hakim menjadi pejabat negara ada dalam UU Kekuasaan Kehakiman (KK). Di situ disebutkan, hakim harus PNS.
Namun dalam paket UU Peradilan yang dikeluarkan pada 2009, syarat PNS ditiadakan. Perubahan tersebut menimbulkan masalah dalam pola perekrutan hakim.
Ujungnya, kata dia, merembet kepada masalah penggajian jika tidak berstatus sebagai PNS tetapi juga belum diangkat sebagai pejabat negara.
Hingga saat ini, ujarnya, belum ada definisi yang jelas tentang pengertian hakim sebagai pejabat negara. Karena dalam UU Kepegawaian dan UU Keprotokolan pejabat negara disebut dengan definisi berbeda.
Suwardi menjelaskan, seleksi pengangkatan hakim sesuai UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Di situ diperintahkan, proses seleksi dilakukan bersama oleh MA dan Komisi Yudisial.
Namun, dalam pengangkatan hakim, proses seleksi tidak lagi melibatkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
"Karena tidak melibatkan kemenpan dan statusnya bukan CPNS. Lalu istilah hasil rekrutmen apa? Aakah tetap menggunakan istilah calon hakim atau calon peserta didikan? Lalu penggajiannya bagaimana?" ungkapnya.
Ia menjelaskan, perlu segera dibuat peraturan bersama dengan MA. Karena, belum ada aturan dalam undang-undang secara spesifik namun ada tuntutan pengadaan hakim dalam jangka pendek.
Sementara untuk kebutuhan jangka panjang, Suwardi menilai, perlu diatur secara khusus tentang jabatan hakim. "Perlu payung hukum yaitu UU Jabatan Hakim, yang di dalamnya mengatur status kepegawaian, mekanisme, jenjang karier, hak-hak keuangan," kata dia.