Selasa 09 Sep 2014 19:08 WIB

Pilkada DPRD Tekan Praktik Politik Uang

Red: Taufik Rachman
Masa yang tergabung dalam Kaukus Muda Indonesia (KMI) menggelar aksi unjuk rasa menentang politik uang di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (4/4).
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Masa yang tergabung dalam Kaukus Muda Indonesia (KMI) menggelar aksi unjuk rasa menentang politik uang di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID,PAMEKASAN--Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPRD bisa menekan praktik politik uang dan menekan biaya politik yang selama ini terlalu mahal, kata Dosen Ilmu Politik Universitas Madura (Unira) Pamekasan, Abu Bakar Basyarahil, di Pamekasan, Selasa.

"Memang ketika bupati dan wakil bupati dipilih oleh anggota dewan, tidak ada jaminan dalam proses pemilihan bebas dari praktik politik uang. Tapi setidaknya, dengan cara seperti itu, tidak akan banyak orang yang terlibat dalam praktik yang kurang baik bagi sistem demokrasi ini," katanya.

Fakta yang terjadi selama pelaksanaan pilkada selama ini, hampir semua pemilih pernah berurusan dengan praktik politik uang untuk menetapkan dukungan pada salah satu pasangan calon.

Akan tetapi anehnya, praktik kurang baik dan kurang mendidik dalam proses demokratisasi itu sulit untuk dibuktikan, meskipun faktanya memang terjadi.

Para pemenang pilkada umumnya adalah pasangan calon yang banyak memiliki cukup modal, karena penentu kemenangan adalah uang, meski tidak semuanya.

"Jika calon pemilih dilokalisir, yakni hanya oleh wakil rakyat saja, maka saya yakin praktik politik uang akan bisa ditekan, sehingga biaya politik tidak terlalu tinggi," katanya.

Abu Bakar mengatakan, sistem pemilihan langsung memang merupakan sistem ideal, karena rakyat bisa memilih calon pemimpin yang diinginkan. Namun fakta yang terjadi selama ini, pemilihan yang dilakukan secara langsung itu dalam prosesnya juga tidak berlangsung secara ideal.

Praktik politik uang sering ditemukan dalam berbagai momentum pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh tim pemenangan pasangan calon.

"Legitimasi bupati dan wakil bupati terpilih yang dilakukan melalui proses pilkada langsung memang lebih kuat, karena mendapatkan mandat dari rakyat secara langsung. Tapi proses yang tidak baik atau mendapatkan dukungan dengan cara yang tidak baik, pada akhirnya juga menghasilkan calon pemimpin yang kurang baik pula dan bisa dipastikan akan berpengaruh pada kebijakan tata kelola pemerintahan," katanya.

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Unira ini lebih lanjut menjelaskan, keinginan sebagian masyarakat termasuk sebagian anggota legislatif untuk melaksanakan pilkada melalui pemilihan yang dilakukan oleh anggota DPRD itu sebenarnya merupakan reaksi atas praktik politik yang kurang baik yang terjadi di lapangan selama ini.

"Kalau pemilihnya hanya wakil rakyat, maka akan berbeda potensi politik uang yang akan terjadi dibandingkan dengan pemilih semua masyarakat yang ada di wilayah itu," katanya.

Sementara untuk menekan terjadinya praktik politik uang di kalangan legislator, menurut Abu Bakar, peran lembaga penegak hukum seperti KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus dioptimalkan.

Ia juga menilai, banyaknya daerah yang pelaksanaan pembangunannya mandek setelah proses pilkada, sebagai akibat dari proses pilkada yang kurang baik.

Pasangan calon bupati dan wakil bupati terpilih yang meraih kemenangan dengan cara yang tidak baik, apalagi hingga mengeluarkan dana dengan jumlah banyak, setelah terpilih bisa dipastikan akan berupaya mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan selama ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement