Rabu 10 Sep 2014 10:53 WIB

Soal RUU Pilkada, KPK: Demokrasi Sedang Terancam

Bambang Widjojanto
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Bambang Widjojanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Saat ini DPR sedang membahas terkait Revisi Undang Undang (RUU) Pilkada apakah akan tetap menggunakan pilkada secara langsung dipilih rakyat atau pilkada tidak langsung yang dipilih melalui DPRD. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengomentari terkait RUU Pilkada tersebut.

"Proses pelembagaan demokrasi menghadapi ancaman yang sangat serius karena telah dibajak secara sistematis," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dalam pesan singkatnya, Rabu (10/9).

Tokoh yang kerap disapa BW ini menyatakan proses demokrasi langsung yang mengedepankan prinsip dari, untuk dan oleh rakyat dihancurkan sebagian wakil rakyat yang secara faktual dapat punya kepentingan tak selaras dengan kehendak sebagian besar rakyat.

Makna kedaulatan rakyat, lanjutnya, seperti dijamin dalam konstitusi di mana rakyat menjadi subyek utama dalam memilih kepala daerahnya. Namun didelegitimasi secara inkonstitusional untuk kepentingan sempit kekuasaan yang berbasis pada syahwat dan libido berkuasa.

Menurutnya ada dampak yang sangat besar dari sekedar implikasi problem pilkada yang selama ini terjadi karena sangat potensial terjadi rekayasa kekuasaan oleh elit penguasa yg berpijak pada kepentingan rent seeking dan bersifat transaksional serta tidak sepenuhnya mewakili kepentingan rakyat.

"Ini salah satu indikasi dan fakta yang bisa dan biasa disebut dalam nomenklatur sosiologi sebagai political corruption atau korupsi demokrasi," jelasnya.

Ia mengimbau kini saatnya rakyat menyimak dengan seksama seluruh proses pembuatan atau Revisi UU Pemilukada. Masyarakat juga dapat mengidentifikasi, siapa saja yang punya sikap dan pandangan yang secara tegas maupun tersamar mendukung tidak dipenuhinya hak rakyat untuk memilih langsung.

Selain itu, rakyat harus secara kritis mengkaji dan mempertanyakan beberapa hal sebagai wacana, yaitu apakah mereka yang mendelegitimasi hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung bisa disebut sebagai pelaku political corruption atau pelaku korupsi demokratisasi.

"Dan atau apakah pelaku tersebut dapat dikenakan sanksi politik dan sanksi sosial agar mereka konsisten dan amanah menjalankan daulat rakyat yang substantif," tegas mantan Ketua YLBHI ini.

 

Ikuti informasi terkini seputar sepak bola klik di sini

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement