REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bupati dan wali kota dari seluruh Indonesia dengan tegas menolak pemilihan kepala daerah di DPRD. Artinya, kepala daerah yang tergabung Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), menolak RUU Pilkada dan pemerintah yang sedang digodok DPR RI
Bupati Samosir Mangindar Simbolon mengatakan, pilkada di DPRD akan mempersempit peluang munculnya tokoh-tokoh berprestasi baik dari partai maupun calon perorangan. Karena pilkada tidak langsung cenderung mengedepankan politisi yang memiliki modal finansial lebih.
Bupati Pati, Haryanto menyampaikan, usulan pilkada lewat DPRD menunjukkan dominannya unsur kepentingan kelompok tertentu. Alasan efisiensi anggaran menurutnya tidak tepat. Karena pilkada di DPRD justru akan menyedot ongkos politik lebih tinggi.
Menurut Bupati Solok, Sumatera Barat, Syamsu Rahim, pilkada di DPRD bukan berarti menutup politik transaksional. Menurut politisi dari Partai Golkar ini, dia tidak gentar meski partai pengusungnya merupakan bagian dari koalisi Merah Putih. Dia menilai sikap koalisi merupakan imbas pilpres yang sifatnya hanya emosi sesaat.
"Kita harus audiensi dengan DPR dan SBY. Ini tantangan buat SBY, setelah nama baiknya selama 10 tahun ini aman-aman saja. SBY harus dengarkan suara rakyat," ungkapnya, Kamis (11/9).
Bupati Sumba Tengah, Umbu Sappi Pateduk menegaskan, pilkada tidak langsung bisa diartikan tidak ada penghargaan terhadap hak asasi setiap warga negara Indonesia. Pilkada lewat DPRD menurutnya hanya akan menjadikan kepala daerah sebagai boneka partai dan DPRD.
Wali Kota Kupang Jonas Salean menyatakan, pilkada di DPRD akan berimbas pada kinerja kepala daerah. Selama lima tahun bupati/wali kota akan dikontrol dan direcoki oleh DPRD.
Selain itu, lanjut Jonas, kesempatan bagi calon perorangan seperti dirinya akan tertutup. Meski UU tetap mengakomodasi, menurutnya mustahil anggota DPRD mau memilih calon independen.