REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu tim pemohon uji materi pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi (MK), Damian Agata mengatakan, salah satu hakim konstitusi dalam sidang pertama menyatakan legal standing permohonan mereka sudah elaboratif.
"Sidang pertama gugatan berjalan dengan sangat baik. Hakim konstitusi memberikan masukan agar memperbaiki permohonan," tutur Damian kepada Republika, Kamis (11/9).
Namun, katanya, tim penuntut diminta untuk menambahkan aspek sosiologis dari gugatannya. Aspek tersebut digunakan untuk menunjukkan bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia dengan mobilitas yang tinggi memungkinkan untuk bertemu orang yang tidak seragam.
Karenanya, paparnya, kendati tidak memiliki kerugian konstitusional secara nyata, legal standing pemohon dalam pengujian undang-undang masih dapat dipenuhi dengan potensi kerugian konstitusional. Itu yang digunakan tim pemohon sebagai dasar dalam legal standing-nya.
Mereka menekankan pada pluralitas di Indonesia, serta tingginya mobilitas penduduk Indonesia.
Saat ini, ujar dia, tim tengah berusaha mengumpulkan materi dan melakukan diskusi terkait saksi. Itu dilakukan agar menguatkan tuntutan.
Selain itu, pemohon juga tengah melakukan berbagai konsultasi dengan pihak yang telah memiliki pengalaman (saksi ahli).
"Kami mendapat berbagai masukan. Saya berharap masukan tersebut bisa membuat kami semakin kuat di persidangan," lanjutnya.
Ia menambahkan, para pemohon gugatan tersebut tidak ada yang tengah menjalani hubungan berbeda agama saat ini. Hal ini tak masalah karena pengajuan tuntutan tidak bersifat personal.
Melainkan, murni berasal dari keresahan terhadap sebuah kebijakan yang dinilainya bermakna ganda. "Saya rasa terlalu sempit bila tuntutan ini diasosiasikan sebagai isu yang hanya sekedar menyentil agama mayoritas," tambahnya.
Menurutnya, sesama penganut keyakinan yang minoritas juga berpeluang terkena dampak langsung dari ketidakpastian hukum dalam UU Perkawinan.