REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pekan ini menandai setahun sejak Pemerintahan Tony Abbott menguasai parlemen Australia. Sejumlah kebijakan yang ia terapkan mempengaruhi hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, dan beberapa yang kontroversial di dalam negeri.
Tetapi di Australia, kebijakan ini pun telah menyulut sejumlah kericuhan, di antaranya yang terjadi di pusat detensi imigrasi yang terletak di Pulau Manus, Papua Nugini. Kericuhan tersebut menyebabkan seorang pencari suaka meninggal. Senat telah meminta pemerintah untuk membawa kembali sejumlah pencari suaka di pulau tersebut ke Australia.
Setelah Indonesia memanggil Duta Besarnya untuk pulang ke Indonesia, Abbott mengatakan ia sedikit menyesal, tetapi menurutnya Australia tidak perlu meminta maaf. SBY pernah menyampaikan kekecewaannya soal ini lewat Twitter dengan mengatakan Abbott terlalu menganggap enteng masalah ini.
Kebijakan ini dianggap akan membiarkan Australia tanpa perlindungan soal masalah ras. Senator Brandis juga pernah mengatakan "setiap orang memiliki hak untuk menjadi fanatik".
Mentor Abbott, yang juga mantan Perdana Menteri John Howard, mempertanyakan manfaat keputusan tersebut. Ia mengatakan tidak akan menerima gelar ksatria jika ditawarkan.
Sebagai dampak dari pengiritan anggaran ini,
sejumlah pelayanan kesejahteraan, seperti di sektor pendidikan dan kesehatan menjadi yang paling terkena dampaknya. Miliaran dolar Australia juga dipangkas dari bantuan luar negeri, di samping pemotongan tunjangan keluarga dan retribusi bagi mereka yang berpenghasilan tinggi.Undang-undang disahkan Senat atau Majelis Tinggi dengan dukungan dari sejumlah senator dari Partai Palmer United, serta senator RIcky Muir dari Partai Pencinta Motor, David Leyonhjelm dari Partai Liberal Demokrat.
Kebijakan ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam bernegosiasi dengan para anggota senat yang terpecah.