REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat politik Refly Harun mendesak Presiden Susilo Bambang Yudoyono menolak Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
"Kalau presiden menyatakan tidak setuju, maka RUU tidak bisa disetujui. Artinya kita tetap pemilihan, langsung," kata Rekfy saat ditemui di aksi Koalisi Kawal RUU Pilkada di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (14/9).
Ia menilai presiden tidak segera menentukan sikapnya terkait masalah RUU Pilkada dan terkesan masih menimbang-nimbang untung dan rugi. "Kalau kita bandingkan jelas lebih murah yang langsung. Tetapi, yang kita bela adalah ide, gagasan yang kita sepakati di konstitusi yaitu kedaulatan rakyat," katanya.
Ia berpendapat pemilihan kepala daerah secara langsung sejalan dengan gagasan kedaulatan rakyat sekaligus sesuai dengan sistem pemerintahan presidensil dan gagasan otonomi daerah. Bila kepala daerah dipilih oleh DPRD, lanjutnya, itu merupakan gagasan dari sistem pemerintahan parlementer.
Menurut dia, berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2001 ayat 18 terdapat dua hal yang mendasari pemilihan secara langsung, yaitu sistem pemerintahan presidensil dan kedaulatan rakyat yang tidak lagi sepenuhnya berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
"Susilo Bambang Yudoyono mau jadi negarawan atau politisi? Kalau negarawan, maka dia tidak menghitung untung dan rugi, dia bisa langsung menyatakan sikap sesuai dengan kehendak mayoritas, dengan ide yang kita bela," katanya.
Selain mendesak presiden, menurut Refly yang dapat dilakukan sekarang adalah mendesak anggota DPR terutama mereka yang pro terhadap RUU Pilkada. Bila DPR dan presiden tidak menolak, maka pihak yang ingin pilkada langsung dapat datang ke Mahkamah Konstitusi agar dilakukan judicial review.
"Mudah-mudahan MK mendengar hati nurani publik bahwa tafsir mutakhir adalah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat." katanya.