REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) memicu pro dan kontra. Sebab selain memperbesar hukuman penjara bagi mantan Presiden PKS itu, MA juga mencabut hak politik LHI.
Dengan putusan dicabutnya hak politik, artinya setelah menyelesaikan masa hukuman, maka Luthfi tidak bisa lagi memilih dan dipilih sebagai pejabat publik. Ahli Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin mengkritisi putusan Mahkama Agung yang mencabut hak politik bagi mantan presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq itu.
"Saya kira belum ada Undang-undangnya yang mengatur pencabutan hak politik bagi seseorang terpidana," kata Irman saat Republika menghubunginya, Rabu (17/10).
Meskipun seseorang itu harus dicabut hak politiknya, maka lembaga peradilan terlebih dahulu meminta masukan kepada pihak-pihak terkait, untuk memastikan apakah pencabutan hak politik itu sudah memenuhi unsur keadilan sebagai warga negara apa tidak.
Meskipun demikian kata Irman, pencabutan hak politik itu belum tentu dikatakan, melanggar hak asasi manusia. Irman berkata, dengan adanya pencabutan hak politik, DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentukan Undang- undang bisa menyikapi tuntutan dan vonis tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, MA memperberat hukuman mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Putusan kasasi itu dijatuhkan pada Senin (15/9) dengan ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme.
Luthfi terbukti menggunakan jabatannya sebagai anggota DPR, untuk melakukan hubungan transaksional demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian di antaranya, yaitu senilai Rp 1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah.