REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG—Para penganjur ajaran Abdurahman Wahid, atau dikenal dengan sebutan Gusdurian, menganggap, kasus penyebutan makam wali sebagai berhala dalam buku terbitan Kementerian Agama (Kemenag) merupakan gejala intoleransi yang mengancam kebebasan berkeyakinan di Tanah Air.
Aan Anshori, aktivis Gusdurian Jombang, menyampaikan, konten buku tersebut merupakan ungkapan tendensius yang berpotensi melukai perasaan kelompok Islam yang memiliki tradisi penghormatan terhadap leluhur, salah satunya warga Nahdatul Ulama (NU).
“Jika kenyinyiran seperti itu terus dilanjutkan maka pengarang buku tengah melakukan upaya adu domba antara kelompok nahdliyyin dan non-nahdliyyin dalam soal ini,” ujar Aan dalam pernyataan tertulis yang diterima wartawan Jawa Timur, Kamis (18/9).
Meski begitu, Aan yang juga Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU (ISNU) Jombang, meminta agar warga Nu tidak reaktif, terlebih menggunakan cara kekerasan. Menurut Aan, hal tersebut merupakan bagian dari pendewasaan dalam beragama.
Lebih jauh, Aan menuding, lolosnya buku kontroversial tersebut merupakan gejala bahwa Kemenag telah disusupi kelompok-kelompok pengusung pemurnian agama yang intoleran.
“Mereka berusaha keras mengendalikan kurikulum, bahan ajar, tenaga pendidik, MGMP hingga organisasi keagamaan intra sekolah. Tujuan mereka jelas, menyebarkan dan mengindoktrinasi paham keagamaan secara sempit dan tidak toleran terhadap perbedaan,” ujar dia.