REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan jaksa Urip Tri Gunawan, terpidana 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair satu tahun kurungan dalam kasus suap dan pemerasan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
"Terhadap Artalyta Suryani telah diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah terbukti melakukan tindak pidana Pasal 5 ayat 1 huruf b UU no 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dalam perkara pemohon PK dikatakan sebagai penerima hadiah dengan Pasal 12 huruf b dan e UU No 20 tahun 2001," kata Urip di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Urip membacakan sendiri nota permohonan PK dihadapan Ketua Majelis Hakim Supriyono dan dua hakim anggota Casmaya dan Muhlis.
Artalyta adalah pengusaha yang juga dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Urip senilai 660 ribu dolar Amerika.
Menurut Urip penggunaan pasal tersebut terhadap dirinya keliru. Sebab, Pasal 5 ayat 1 huruf b tidak bisa berdiri sendiri tapi melekat pada pasal 5 ayat 2 sehingga ia lebih tepat dijerat dengan Pasal 5 ayat 2 selaku penerima.
Terdapat tiga butir penjelasan dalam novum (bukti baru) yang disampaikan Urip dalam persidangan.
Pertama Urip menjelaskan bahwa KPK dan Kejaksaan Agung sama-sama menyelidiki terkait perkara BLBI sehingga menurut dia, tidak ada unsur melawan hukum yang menjadi dasar tindak pidana terhadapnya.
Dalam novum kedua, Urip mempermasalahkan frasa "perintah supaya ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan" yang tidak ada dalam amar putusannya. Dia menilai bahwa hal tersebut bertentangan dengan putusan MK nomor 69/PUU-X/2012, sehingga putusan terhadapnya harus dibatalkan.
Sedangkan dalam novum ketiga, Urip mengungkapkan bahwa jaksa pada KPK tidak mempunyai kewenangan mengeksekusi putusan pengadilan, menurut Urip, kewenangan untuk melakukan eksekusi, ada pada jaksa pada Kejaksaan.
"Pimpinan KPK saja tidak berwenangan untuk melakukan eksekusi, apalagi jaksa yang menjadi pegawai di KPK tidak punya wewenang," ungkap Urip.
Urip juga menyatakan telah terjadinya kekhilafan atau kekeliruan hakim pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam putusannya.
Di tingkat pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Urip 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair satu tahun kurungan, putusan itu lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang meminta agar Urip dihukum 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 250 juta.
Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis mantan Kasubdit Tindak Pidana Ekonomi Kejagung itu dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsidair delapan bulan kurungan.
Pada 18 September 2011, Mahkamah Agung pun menolak permohonan kasasi Urip Tri GUnawan sehingga tetap harus menjalani 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsidair delapan bulan kurungan.