REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa dalam perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang, Anas Urbaningrum, berpesan agar jangan sombong dalam proses penegakan hukum.
"Saya hanya ingin mengangkat sedikit mutiara nilai kearifan Jawa, yakni 'Ojo Dumeh' dan 'Ojo Adigang, Adigung Adiguna'. Secara sederhana 'Ojo Dumeh' bermaksa jangan sombong," kata Anas dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu membacakan pledoi pribadinya yang ditulis tangan setebal 80 halaman selama dua jam dengan berdiri.
"Sedangkan 'Ojo Adigang, Adigung, Adiguna' juga bermakna pesan dan peringatan kepada siapapun yang memiliki kelebihan, kekuatan, kedudukan, kekuasaan dan kewenangan untuk tidak bersikap sewenang-wenang," kata Anas.
Meski tidak mengatakan secara langsung siapa orang yang ia minta agar tidak sombong, namun Anas sempat menyinggung bahwa jaksa KPK sengaja tidak menghadirkan ketua panitia pengarah dalam pelaksanaan Kongres Partai Demokrat Mei 2010, yaitu Edhi Baskoro Yudhoyono.
"Agar siapa yang mempunyai kekuatan, kedudukan, kekuasaan dan kewenangan tidak terjebak pada sikap 'sapa sira, sapa ingsun" atau siapa kamu, siapa aku karena segala sesuatu ada batasnya dan ada pula masanya," kata Anas.
Anas mengatakan bahwa di atas segalanya ada kekuasaan Tuhan dan "Gusti Ora Sare" yang artinya "Tuhan tidak tidur".
"Tuhan menuntun karma mencari alamatnya sendiri-sendiri sesuai dengan logika alam dan ketentuan Tuhan," kata Anas.
Pantun
Selain menggunakan bahasa Jawa, Anas pun sempat berpantun dalam bahasa Melayu Pekanbaru.
"Biarlah JPU bertindak sesuko hati, hambo percaya majelis hakim memutus sesuai hati. Rencana Tuhan Insya Allah rencana terbaik," kata Anas menyelesaikan pembacaan pledoinya dan disambut oleh para pendukungnya yang sebagian besar berasal dari Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).
Anas dalam perkara ini dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dan ditambah hukuman tambahan yaitu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS, pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik, serta pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektar di kecamatan Bengalon dan Kongbeng, kabupaten Kutai Timur.
Tuntutan jaksa KPK berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP.
Anas juga didakwa berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 65 ayat 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Anas dalam perkara ini diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan "entertainment".
Selain itu, biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya "event organizer", siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.