Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Satu ketika Rabiah terpisah dengan ketiga saudaranya, dia pun hidup sendiri. Rabiah kemudian diculik dan dijual sebagai budak seharga enam dirham pada seorang pedagang.
Dia diperlakukan dengan kejam dan kasar oleh majikannya. Namun, Rabiah mengisi hari-harinya dengan sabar. Siang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan tuannya, malam ia gunakan untuk bermunajat kepada Rabb-Nya.
Suatu malam tuannya terjaga dari tidur. Ia kemudian melihat ke jendela di mana terlihat Rabiah sedang sujud dan berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu hasrat hatiku adalah untuk mematuhi perintah- Mu. Jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak dapat beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.”
Menyaksikan peristiwa itu, tuan Rabiah merasa takut dan termenung hingga fajar. Pagi-pagi ia memanggil Rabiah dan membebaskannya.
Tuannya tersebut sempat menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Tetapi, karena kezuhudannya, dia menolak dan memilih kehidupan sufistik dengan beribadah dan berkhalwat pada Allah SWT.
Rabiah kemudian berkelana di daerah padang pasir. Ia menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materi dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya, namanya mulai terkenal sebagai seorang alim yang zuhud.
Beberapa sufi yang terkenal di zaman itu pun banyak yang datang mengunjungi Rabiah untuk berguru. Beberapa yang sempat mendatangi majelis Rabiah adalah Malik bin Dinar, Sufyan as-Sauri, dan Syaqiq al-Balkhi.
Pengalaman kesufian ia peroleh bukan lewat jalur guru. Melainkan dari pengalaman hidupnya yang penuh liku. Ia tidak meninggalkan ajaran tertulis langsung dari tangannya. Ajarannya banyak disampaikan oleh para muridnya dan ditulis setelah Rabiah wafat.
Terdapat beberapa keterangan mengenai tahun wafatnya Rabiah. Ada yang menybut pada 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Begitu juga dengan tempat ia dikuburkan. Ada riwayat yang menyebut Rabiah dimakamkan di Yerusalem, ada yang menyebut di Basrah dekat tempat kelahirannya.