REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tuntutan pencabutan hak politik bagi mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bukan karena alasan politik, melainkan berdasarkan pertimbangan hukum.
"Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK bukan orang politik sehingga kami tidak mau bermain-main dan ditarik-tarik dengan pernyataan dan sinyalemen yang bersifat politis yang berulang kali dikemukakan oleh Anas dan kelompoknya yang memang politikus," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Rabu (24/9).
Anas dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dan ditambah hukuman tambahan, yaitu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS, pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik, serta pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektare di Kecamatan Bengalon dan Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur.
"Bagi KPK, Anas itu diperlakukan sama posisinya dengan terdakwa kasus korupsi lainnya, tidak ada bedanya sama sekali, sama seperti Djoko Susilo, (Ratu) Atut, Rusli Zainal, Akil, dan lain-lain yang juga diminta untuk dicabut hak dipilih dan memilihya," katanya.
Menurut Bambang, KPK sebagai penegak hukum bekerja berdasarkan fakta dan alat bukti serta pembuktian.
"Hukuman tambahan dalam KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi membolehkan dilakukan pencabutan hak memilih dan dipilih," katanya.
Bambang mengatakan bahwa KPK berharap putusan terhadap Anas akan sependapat dengan tuntutan KPK.
"KPK hanya mengingatkan Anas yang pernah sesumbar dengan pernyataannya soal bersedia digantung di Monas kalau korupsi Rp1 saja tapi kini Monas seolah sudah dilupakannya. Di pengadilan, beberapa keterangan saksi menyatakan sehingga terbukti secara sah bahwa Anas juga yang menyuruh Nazar melarikan diri ke Singapura," katanya.