REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan tetap menagih kekurangan pajak serta sanksi administratif dari Asian Agri Group di luar denda wajib yang telah dibayarkan perusahaan tersebut berdasarkan keputusan Mahkamah Agung senilai Rp 1,9 triliun.
"Ini adalah penagihan terhadap pajak terutang, mereka kurang bayar yang kena denda administratifnya. Tagihan kami melalui proses administrasi ini Rp1,9 triliun. Ini di luar Rp2,5 triliun, dan tetap harus kami tagih," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany saat mengikuti sidang pengadilan pajak di Jakarta, Rabu (24/9).
Fuad mengikuti sidang lanjutan di pengadilan pajak bersama Wakil Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa, anggota Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, serta Inspektur Jenderal Kemenkeu Sonny Loho.
"Semua aparat hukum mendukung langkah kami. Dalam sidang, juga hadir dari UKP4, dari KY juga hadir, dari Ditjen Pajak hadir, dari Kemenkeu Irjen juga hadir. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap kasus pajak seperti ini," kata Fuad.
Total tagihan Asian Agri Group terhadap DJP yang mencapai Rp1,9 triliun berasal dari kekurangan pajak ketika kasus Suwir Laut terungkap di Mahmakah Agung sebesar Rp1,29 triliun ditambah sanksi administratif sebesar Rp700 miliar.
Sebelumnya, menurut rilis Kejaksaan Agung, Asian Agri Group telah melunasi denda yang wajib dibayarkan oleh perusahaan berdasarkan keputusan MA pada tanggal 18 Desember 2012 sebesar Rp 2,5 triliun per 17 September 2014.
General Manager Asian Agri Group Freddy Widjaya percaya pengadilan pajak akan memberikan putusan yang seadil-adilnya dan perusahaan akan menghormati proses persidangan terhadap 14 anak perusahaan Asian Agri Group.
Ia juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Pajak memberikan hak kepada setiap wajib pajak untuk mengajukan banding di pengadilan pajak terhadap surat ketetapan pajak (SKP) yang diterbitkan oleh DJP.
"Asian Agri taat hukum dan percaya bahwa pengadilan pajak akan memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan UU. Ini demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan 25.000 karyawan dan 29.000 keluarga petani plasma yang bernaung pada perusahaan," katanya.
Sidang lanjutan memperkarakan keberatan dari dua anak perusahaan Asian Agri Group, yaitu PT Saudara Sejati Luhur dan PT Inti Indosawit Subur yang menolak dikenai tagihan pajak penghasilan badan dan PPh Pasal 25 untuk periode 2002--2005.
Sementara itu, anggota Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan bahwa kehadirannya dalam persidangan tersebut dalam kapasitas untuk melakukan pengawasan terhadap semua pengadilan, termasuk pengadilan pajak, sesuai dengan nota kesepahaman antara Kemenkeu dan KY pada tahun 2010.
"Kami punya kompetensi untuk melakukan pengawasan pengadilan pajak. Tadi kami pantau bagaimana pengadilan pajak berjalan apakah sudah sesuai dengan etik atau tidak sebagai seorang hakim," katanya.
Wakil Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa menambahkan bahwa dirinya berkepentingan hadir karena pihaknya terkait dengan pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2011, yaitu soal percepatan penanganan kasus-kasus hukum dan mafia perpajakan.
"UKP4 yang dulu ada satgas pemberantasan mafia hukum, sangat peduli sekali dengan bagaimana membangun pengadilan pajak yang betul-betul independen, profesional, dan adil," katanya.
Menurut dia, perkembangan pengadilan pajak saat ini sudah cukup baik karena kekalahan yang dialami negara dari berbagai kasus sengketa pajak semakin berkurang dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
"Kalau dulu, kekalahan negara itu 70 persen, sekarang itu negara dimenangkan 60 persen. Artinya, itu menunjukkan dari segi 'output', membaik kondisinya," kata Mas Ahmad Santosa.