REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Buku mengenai hubungan RI-Yugoslavia dengan perhatian khusus persahabatan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito dengan Presiden Soekarno berjudul "Yugoslavija-Indonesia from 1945-1967, Research and Documentation", diluncurkan di Gedung Pusat Arsip Yugoslavia (Arhiv Jugoslavije-Republic Serbia/AJRS).
Demikian Sekretaris Tiga KBRI Serbia,Khotijahtus Sadiyah kepada Antara London, Rabu.
Buku disusun tiga ahli sejarah Yugoslavia, Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Beograd,Prof. Dr. Ljubodrag Dimic, Pakar Institut Sejarah Baru Serbia, yang adalah juga Ketua Asosiasi Persahabatan Serbia dan Indonesia "Nusantara" Dr Aleksandar Rakovic dan Direktur AJRS Miladin Milosevic.
Prof Dr Ljubodrag Dimic mengatakan dibutuhkan dua setengah tahun menghasilkan buku monografi ini, dimulai dengan riset ribuan dokumen tentang dinamika hubungan diplomatik antara Yugoslavia dan Indonesia, di era kepemimpinan Presiden Tito dan Soekarno kemudian menyusun kerangka analisanya, menulis dan menyusun buku.
Ide menyusun buku ilmiah dan bersejarah ini datang pertama kali dari Dubes Indonesia di Beograd Semuel Samson yang disampaikan pada penyelenggaraan forum "Indonesia-Serbia Bilateral Interfaith Dialogue| atau ISBID di Beograd, April 2011 lalu, ujar Dr. Rakovic di depan ratusan hadirin.
Acara peluncuran buku dengan tuan rumah Direktur AJRS, Miladin Milocevic, dihadiri Menteri Kebudayaan dan Informasi Serbia, Ivan Tasovac, Dubes Semuel Samson, Direktur Asia, Australia dan Pasifik - Kementerian Luar Negeri Serbia, Dubes Milisav Paic, Dubes negara sahabat, kaum intelektual, kalangan media dan ratusan undangan lainnya.
Hadir pula Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Mustari Irawan dan delegasi, yang melakukan kunjungan kerja membahas tindak lanjut kerjasama antara ANRI dengan mitranya AJRS, dalam bentuk penandatanganan Rencana Kerja 2013 2016, mempersiapkan dokumen Konferensi Asia - Afrika (KAA - Bandung) dan KTT Gerakan Non Blok sebagai Memory of the World di UNESCO.
Menteri Kebudayaan dan Informasi Serbia, menyampaikan rasa hormat dan kegembiraannya atas penerbitan buku monografi yang tersaji secara ilmiah dan lengkap ini.
Dengan kehadiran buku ini membuktikan tiga hal yaitu terbuka kemungkinan bagi kerja sama bilateral yang penting di bidang kebudayaan kerja sama sistematis antara institusi kebudayaan selalu memberikan hasil yang berkualitas dan melalui penghormatan terhadap peninggalan sejarah untuk meningkatkan kerja sama internasional di berbagai bidang, ujar Menteri Tasovac.
Hubungan diplomatik di tingkat publik antara Indonesia dan Yugoslavia, salah satunya, ditandai pertama kali lewat tulisan di Harian Politika pada tanggal 15 November 1945, yang memberitakan tentang perang antara Indonesia melawan Belanda dan Inggris.
Tonggak-tonggak hubungan diplomatik antara kedua negara kemudian didominasi oleh dinamika hubungan antara Presiden Josip Broz Tito dan Presiden Soekarno, terutama menjelang Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, tahun 1955, dan kelanjutannya pada Konferensi Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, tahun 1961.
Dijelaskan dalam buku bagaimana Soekarno dan Tito, selepas KTT GNB yang pertama, 1961, berinisiatif merancang pertemuan antara Presiden John F Kennedy dengan Presiden Nikita Khrushchev untuk meredakan ketegangan diantara kedua blok politik dan kekuatan militer dunia di era perang dingin.
Kedekatan hubungan antara Indonesia dan Yugoslavia dan perannya di kancah internasional mengharuskan Presiden Soekarno berkunjung ke Yugoslavia sebanyak enam kali yaitu tahun 1956, 1958, 1960, 1961, 1963 dan 1964. Dalam kedekatan hubungan yang sangat akrab itulah, kedua bapak bangsa Yugoslavia dan Indonesia bertegur sapa baik lisan ataupun tulisan dengan sebutan, "Dear Friend Karno" dan "My Dear Friend Tito".
Buku ini merupakan momentum bagi upaya rekonstruksi dan peletakkan kembali fondasi yang kokoh bagi pengembangan hubungan kerja sama selanjutnya antara Indonesia dan Serbia, antara Indonesia dengan Negara-negara eks Yugoslavia, dan bahkan dengan Negara-negara GNB.
Buku ini juga akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan bahasa internasional lainnya yang dapat dinikmati publik internasional, menyongsong peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA Bandung) pada tahun 2015.