REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane mengatakan pemerintahan presiden Jokowi perlu memperkuat kinerja intelijen. Pasalnya, selama ini kinerja intelijen di negeri ini sangat kedodoran.
"Jika tidak memperkuat kinerja intelijen, nasib Jokowi bisa seperti Gus Dur, istananya dikepung massa kemudian dipaksa mundur dari kekuasaanya, setelah konflik dengan elit politik di parlemen," kata Neta dalam rilis yang dikirim kepada Republika, Kamis (25/9).
Ia menuturkan berdasarkan pemantauan IPW, kalangan intelijen yang berada di sekitar Jokowi saat ini adalah kalangan "intelijen selebritas" yang tidak mengakar ke bawah. Padahal, menurutnya, ke depan sangat banyak masalah di negeri ini yang perlu dicermati dan disikapi dengan strategi intelijen.
Maka itu, Jokowi perlu memperkuat kinerja intelijen kepolisian, militer maupun intelijen sipil. Neta mengatakan penguatan terhadap kinerja intelijen tidak hanya menyangkut kepada kelangsungan kepemimpinan Jokowi, lebih dari itu untuk memperkuat stabilitas keamanan Indonesia.
Sebab ke depan potensi teror di negeri ini masih cukup tinggi, terutama dengan masih banyaknya kantong-kantong radikalisme di berbagai daerah dan berkembangnya isu ISIS. Selain itu, menurutnya, makin derasnya narkoba yang masuk dari Malaysia ke Indonesia (rata-rata seminggu tiga kali dalam paket besar) patut dicermati.
Ia menuturkan perubahan besar-besaran di jajaran intelijen kepolisian, militer, dan sipil harus segera dilakukan Jokowi begitu dilantik menjadi presiden. Menurutnya, ada tiga tujuan utama dari pembenahan intelijen ini. Pertama, situasi kamtibmas terjaga dan meluasnya peredaran narkoba maupun senjata api ilegal bisa ditekan.
Kedua, manuver pejabat pejabat yang korup, mafia hukum, mafia proyek, mafia migas, dan mafia lainnya bisa dideteksi untuk kemudian dibasmi. Ketiga, manuver pihak-pihak tertentu yang hendak memainkan massa untuk kepentingan kelompoknya bisa dikendalikan dengan strategi intelijen.