REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan pendapat atau dissenting opinion dua hakim tipikor dalam sidang putusan Anas Urbaningrum sebagai terdakwa kasus gratifikasi proyek Hambalang menjadi catatan khusus tim kuasa hukum. Perbedaan pendapat dalam sidang putusan itu juga harus dipertanyakan kenapa hakim yang berbeda pendapat melanjutkan putusannya.
Menurut Firman, kalau memang hakim berbeda pendapat terkait dakwaan Anas mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) seharusnya majelis hakim tidak melanjutkan proses penuntutan oleh KPK. Dengan berbeda pendapat itu perkara mestinya diserahkan ke Kejaksaan Agung.
"Kalau memang berbeda pendapat harusnya NO (putusan tidak dapat diterima, kenapa tidak diserahkan kepada institusi yang berwenang (Kejaksaan). Karena dakwaan itu satu kesatuan tidak bisa diseplit," kata Firman Widjaya salah satu tim kuasa hukum Anas, saat dihubungi Republika Online (ROL), Kamis (25/9)..
Firman menilai, tim majelis hakim yang diketuai Haswandi dalam menjatuhkan vonis terlihat tertekan setelah mendapatkan opini publik. Yang sudah menjadi tersangka KPK meski tidak terbukti harus tetap diadili dengan hukuman kurungan badan. "Hakim dalam putusannya juga tekesan dipaksakan dan terburu-buru. Masa dalam putusan akhir masih ada orat-oret," katanya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memutuskan 8 tahun penjara untuk Anas dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dolar AS.