REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat dari Komite Pemilih Indonesia (TePi Indonesia) Jeirry Sumampow menilai Partai Demokrat memainkan politik bermuka dua. Seolah-olah mendukung pemilihan kepala daerah langsung namun "walk out" saat sidang paripurna DPR membahas RUU Pilkada.
"Demokrat memainkan politik bermuka dua. Seolah-olah mengapresiasi dan mengakomodir suara rakyat namun yang kita lihat tadi malam terjadi adalah pengkhianatan aspirasi dan kedaulatan rakyat," kata Jeirry dalam diskusi "Pandangan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu yg Demokratis atas hasil rapat paripurna DPR tentang RUU Pilkada dan sikap Partai Demokrat di Jakarta, Jumat (26/9).
Jeirry mengatakan, sejak awal sudah mencurigai bahwa Demokrat menjadi aktor dalam drama RUU Pilkada. Menurutnya, Demokrat melihat bahwa rakyat mengharapkan agar partai yang ketua umumnya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu bisa menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
"Mungkin Demokrat juga menangkap aspirasi itu. Lalu SBY memunculkan dukungan ditambah dari deklarasi dukungan Demokrat dengan mengajukan syarat 10 poin. Sayangnya dukungan itu diakhiri pengambilan keputusan Demokrat dengan mengkhianati kepercayaan rakyat," ujar Jeirry.
"Apa yang dikemukakan Demokrat bahwa opsinya tidak diterima, itu bohong lagi. Karena kita lihat ada tiga fraksi yang ngotot untuk dukung opsi Demokrat, ini membuat kaget Demokrat yang ternyata tidak siap dengan dukungan ini karena mereka punya skenario lain, lalu mereka malah "walk out". Itu adalah pengkhianatan," tambah Jeirry.
Menurut Demokrat dukungan atas opsi pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak yang diajukannya hanya "lip service" atau di mulut saja dan tidak sungguh-sungguh. Saat itu, sebanyak 129 anggota dari 148 kursi milik F-Demokrat hadir dalam sidang paripurna.