REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Vonis kasasi yang ditetapkan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) atas terpidana kontraktor PT CPI, Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo dinilai bisa menjadi ancaman serius bagi perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi sub-kontraktor perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan bisnis dengan pemerintah, BUMN atau BUMD.
Dalam putusan kasasi yang ditetapkan ketua majelis, Artidjo Alkostar, kedua kontraktor PT CPI ini divonis 5 dan 6 tahun penjara karena bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi Chevron.
“Vonis ini sangat berbahaya karena bisa menjadi yurisprudensi. Ricksy dan Herland atau perusahaannya mestinya digugat dulu oleh PT CPI sebagai pihak yang berkontrak dengan mereka kalau ada masalah. Namun jika ini tidak terjadi maka pembayaran kepada mereka adalah sah sesuai kontrak,” ujar penasihat hukum Ricksy Prematuri, DR Najib Ali Gisymar, Jumat (26/9).
Menurut pemerhati hukum, kontrak PSC yang juga sangat peduli soal penegakan hukum yang adil ini, apabila proyek bioremediasidibantu oleh subkontraktorlalu digugat oleh pemerintah dengan alasan apapun, maka sesuai dengan prinsip kontrak, pemerintah hanya boleh menggugat PT CPI saja sebagai pihak yang berkontrak dengan pemerintah dan memakai mekanisme penyelesaian perselisihan sesuai Kontrak Kerja Sama atau production sharing contract (PSC) .
“Sekali lagi, kalau PT CPI tidak pernah mengeluh atau menggugat soal pekerjaan kedua subkontraktor ini dan kenyataan bahwa uang PT CPI-lah yang dipakai bukan dari APBN, maka dakwaan korupsi terhadap kedua terpidana ini keliru,” ungkap Najib.
Menurut Najib, implikasi vonis kasasi pada kedua subkontraktor Chevron ini sangat serius. Menurut dia, jaksa, polisi atau KPK bisa setiap saat menciduk perusahaan subkontraktor atas tuduhan korupsi apabila ada dugaan bahwa perusahaan yang berkontrak dengan pemerintah, BUMN, atau BUMD berpotensi merugikan negara.
“Jika putusan kasasi ini tidak segera dikoreksi, misalnya, dengan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) maka vonis ini menjadi yurisprudensi baru dimana setiap subkontraktor yang terlibat dalam sebuah kegiatan proyek dengan perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan kontrak dengan pemerintah, BUMN atau BUMD bisa diancam pidana korupsi meskipun subkontraktor tadi dianggap telah mengerjakan tugas dan dibayar sesuai kontrak,” lanjut Najib.
Najib menegaskan, atas vonis dan kasus ini serta demi keamanan dan kelangsungan hidup perusahaan, para subkontraktor disarankan untuk menolak pekerjaan di bidang bioremediasi atau sejenisnyaatau tidak perlu ikut tendernya.
"Biarkan masalah limbah menjadi urusan pemerintah dan hakim agung. Alasannya jelas karena subkontraktor pasti harus berkontrak dengan perusahaan migas yang berkontrak dengan pemerintah sehingga bisa dipastikan dapat menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana seperti Ricksy dan Herland,” tutup Najib.
PT GPI dan PT SGJ mengikuti tender terbuka jasa-jasa pendukung proyek bioremediasi dan berhasil terpilih di antara para peserta tender. Kedua perusahaan ini meneken kontrak dengan PT CPI yang merupakan kontraktor pemerintah dan produsen minyak mentah terbesar di Indonesia.
Kedua subkontraktor PT CPI ini menjalankan kegiatan dan memperoleh bayaran dari PT CPI untuk pekerjaan bioremediasi yang sudah selesai sesuai kontrak. Alih-alih dapat untung dan menang tender lagi di tahun 2011, tiba-tiba mereka dituduh korupsi oleh Kejaksaan Agung karena proyek yang telah dijalankan sejak tahun 2006 ini dianggap fiktif. Tuduhan proyek fiktif ini didasarkan pada keterangan Edison Effendi yang juga pesaing bisnis mereka.
Dalam dissenting opinion pada kasus Ricksy, hakim Agung Leopold Luhut Hutagalung menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana itu.
“Apabila dibenarkan cara mengadili kasus seperti ini, implikasinya amat luas sehingga setiap perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan kontrak antara swasta dengan swasta lainnya akan selalu dapat dijadikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi jika salah satu pihak swasta tersebut secara kebetulan memiliki kontrak dengan perusahaan negara,” tulis Leopold.
Dalam pendapatnya Leopold menjelaskan bahwa hubungan antara terdakwa Ricksy sebagai direktur PT Green Planet Indonesia (PT GPI) dengan Widodo dan Alexia (keduanya karyawan PT CPI) adalah hubungan perdata, yang dalam hukum perdata dianut kebebasan berkontrak dengan pihak-pihak yang berkontrak. Tidak ada pihak yang boleh mencampuri pihak swasta untuk berkontrak.
“Ternyata sebagai direktur PT GPI, terdakwa Ricksy tidak pernah digugat oleh PT CPI sehingga turut campurnya Kejaksaan Agung dalam perkara ini melanggar asas berkontrak dari para pihak swasta dan menjadikan perkara ini menjadi aneh dan mengundang pertanyaan besar,” tulisnya.