Oleh, Ratna Ajeng Tejomukti
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juwairiyah adalah salah satu istri Rasulullah SAW yang mulia. Juwairiyah adalah pemuka kaum Bani Musthaliq. Nama aslinya adalah Burrah binti Harits bin Abu Dhirar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah.
Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin Bani Musthaliq. Juwairiyah adalah sosok yang cantik, baik hati, dan luas ilmunya. Ia menikah dengan Musafi ’ bin Shafwan. Kehadiran Juwairiyah adalah sebuah berkah bagi kaumnya. Karena keislamannya, seluruh kaumnya yang musyrik dan mengangkat senjata melawan Rasulullah SAW turut masuk Islam. Aisyah RA menggambarkan sosok Juwairiyah, "Aku tidak pernah melihat seorang perempuan yang berkahnya paling banyak bagi kaumnya dari Juwairiyah."
Kisah Islamnya Juwairiyah tak lepas dari permusuhan Bani Musthaliq kepada Islam. Harits bin Abu Dhirar yang menyembah berhala hendak menghalangi dakwah Rasulullah SAW di Madi nah. Mendengar Bani Musthaliq siap mengangkat senjata, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk siap berjihad. Rasulullah menjadi panglima dalam perang Mustalaq ini. Be liau menunjuk Abu Dzar al-Ghifari sebagai wali sementara di Madinah.
Kedua pasukan bertemu di daerah Mu raisi. Bersama pasukan Muhajirin dan Anshar, Rasulullah SAW berhasil mengalahkan Bani Mushtaliq. Suami Juwairiyah, Musafi ’ bin Shafwan, turut terbunuh dalam perang ini. Karena kalah perang, harta dan wanita Bani Mushaliq, termasuk Juwairiyah menjadi tawanan kaum Muslimin.
Rasulullah SAW pun membagikan tawanan wanita Bani Musthaliq, salah seorang di antaranya Juwairiyah binti Harits yang diserahkan pada Tsabit bin Qais bin Syammas.
Karena Juwairiyah termasuk pemuka kaumnya, ia merasakan kesedihan dan beban yang luar biasa akibat kekalahan Bani Musthaliq. Suaminya terbunuh, ayahnya melarikan diri, dan kini dia beserta kaumnya menjadi tawanan kaum Muslimin.
Juwairiyah pun berinisiatif menemui Rasulullah SAW. Dia menyampaikan se gala keluh kesahnya dan meminta kebebasan. Saat mendatangi Rasulullah, Aisyah RA, seperti disebutkan Ibnu Saad, merasa sangat cemburu dengan Juwairiyah. Hal itu karena sosok Juwairiyah yang dimuliakan kaumnya dan berani menemui Rasulullah untuk membicarakan kebebasannya.
Merasa kasihan dengan beban Ju wairiyah, Rasulullah pun bersedia membebaskan Juwairiyah, kemudian menikahinya. Berita tentang pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah pun tersebar di kalangan para sahabat. Para sahabat menilai, Bani Musthaliq yang kini menjadi kerabat Rasulullah tidak pantas menjadi tawanan. Akhirnya, seluruh wanita dan kaum Bani Musthaliq dibebaskan tanpa syarat.
Setelah kebebasannya, Bani Musthaliq yang ditawan kaum Muslimin mengikrarkan keislamannya. Meski cemburu dengan sosok Juwairiyah, Aisyah RA menggambarkan betapa kehadiran Juwairiyah adalah berkah bagi kaumnya. Selain mendapat kebebasan, mereka juga mendapat cahaya Islam berkat pernikahan Juwairiyah.
Keislaman pemimpin Bani Mustahliq, Harits bin Abu Dhirar, terjadi setelah ia bermaksud menebus putrinya. Ia bermaksud menyerahkan unta-untanya kepada Rasulullah SAW sebagai tebusan. Tapi, ia menyembunyikan dua unta terbaiknya di Aqiq.
Saat menemui Rasulullah, seperti diriwayatkan Ibnu Hisyam, Harits ditanya tentang dua untanya yang disimpan di Aqiq. Takjub dengan pemahaman Rasulullah karena tak seorang pun tahu dia menyimpan dua untanya, Harits pun langsung mengikrarkan syahadat. Islamnya Harits juga diikuti Islamnya seluruh Bani Musthaliq yang masih tersisa.
Setelah itu, dilangsungkan pernikahan antara Rasulullah dan Juwairiyah dengan mahar 400 dirham. Setelah menjadi Ummahatul Mukminin, Juwairiyah banyak menghabiskan waktunya dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nama Juwairiyah pun diberikan Rasulullah SAW setelah mereka menikah. Juwairiyah dikenal dengan sahabiyah yang ahli shalat.
Juwairiyah wafat pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sofyan. Beliau wafat pada usia 60 tahun dan dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan makam istri Rasulullah lainnya.