REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - UU Pilkada tetap memiliki legalitas setelah disahkan dalam sidang paripurna DPR Jumat (26/9) dini hari. Meskipun Presiden SBY tidak menandatangani dokumen UU tersebut dalam jangka 30 hari.
Pakar Hukum Tata Negara, Said Salahudin, mengatakan sistem hukum di Indonesia berbeda dengan Amerika dimana presiden Amerika memiliki hak veto dalam pengesahan undang-undang.
"Presiden RI tidak punya hak veto," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) tersebut kepada Republika di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Ahad (28/9).
Said menjelaskan, di Amerika pembentuk undang-undang adalah parlemen. Presiden diharamkan mengusulkan rancangan undang-undang (RUU), bahkan mengikuti sidang paripurna. Namun, Presiden Amerika punya hak veto untuk tidak menyetujui pengesahan undang-undang.
Sementara di Indonesia, pembuat undang-undang adalah DPR. Sementara Presiden RI menurut UUD 1945 punya tiga kewenangan yakni mengusulkan RUU, ikut membahas UU dan mengesahkan UU. Namun, Presiden RI tidak punya hak veto untuk membatalkan UU.
Menurutnya, sistem demokrasi di Indonesia berbeda dengan Amerika. Sehingga keliru jika mengambil contoh sistem demokrasi di Amerika. "Kenapa Presiden RI tidak punya veto? Bahwa derajat yang lebih kuat sebagai pembentuk undang-undang ada di DPR," tegas Said.
Dengan demikian, lanjutnya, fungsi legislatif berperan. Dimana pemegang kekuasaan pembentuk UU, betapa pun presiden boleh mengusulkan RUU, membahas dan mengesahkan UU tapi sebagai bentuk konkrit pembentukan UU ada di DPR. Meskipun Presiden SBY tidak tanda tangan UU tersebut tetap bisa dijalankan.
"Kalau presiden tidak mengesahkan itu tetap berlaku karena produk DPR," pungkasnya.