Menjunjung tinggi toleransi
Kala itu, rumah sakit Islam dikelola pemerintah, sedangkan jabatan direktur dipegang oleh dokter. Meski memanggul nama “Islam”, semangat toleransi selalu terasa.
Sebab, meski berbeda agama, semua dokter dan pegawai rumah sakit dapat bekerja sama dengan baik untuk satu tujuan, yakni melayani para pasien.
Selain lintas kasta karena melayani seluruh lapisan masyarakat, rumah sakit Islam ini juga menerapkan pemisahan bangsal, yakni pasien laki-laki dan perempuan menempati bangsal terpisah.
Selanjutnya, pelayanan dan pengobatan untuk pasien laki-laki dilakukan oleh dokter laki-laki. Begitu pula sebaliknya untuk pasien perempuan. Selain itu, penderita penyakit menular dirawat di tempat yang berbeda dari pasien lainnya.
Pada Abad Pertengahan rumah sakit Islam dibangun dan dilindungi oleh khalifah, sultan, atau wazir. Sedangkan, untuk kelancaran jalannya pengobatan, terdapat muhasib dan lembaga hisbah.
Muhasib adalah orang yang ditunjuk oleh khalifah untuk melindungi masyarakat dari transaksi yang merugikan, termasuk di dalamnya terkait pelayanan kesehatan.
Selain itu, lembaga hisbah bertugas mengatur hubungan antara pasien, dokter, dan apoteker. Dengan kata lain, merekalah yang bertugas membuat kode etik rumah sakit sekaligus yang mengawasi.
Ilmuwan Hossam Arafa dalam tulisan berjudul “Hospital in Islamic History” menyebut, bimaristan senantiasa memperhatikan pasokan air dan kebersihan kamar mandi. Dalam kondisi sehat ataupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban.
Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringanan untuk melaksanakan shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.
Tenaga medis yang dipekerjakan di rumah sakit haruslah memenuhi syarat, yakni mereka yang berkualitas dan telah menguasai ilmu kedokteran. Khalifah Al-Muqtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan kualitas dokter yang bertugas di rumah sakit.
Untuk memastikan semua dokter berkualitas, khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan bin Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.