Selasa 30 Sep 2014 18:03 WIB

Bila Bertentangan, Pusat Bisa Cabut Qanun Jinayat

Rep: ira sasmita/ Red: Taufik Rachman
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintah pusat bisa membatalkan Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Jika hasil evaluasi pemerintah pusat menunjukkan qanun bertentangan dengan kepentingan umum dan hak asasi manusia, pemerintah daerah Aceh harus melakukan perubahan.

"Kalau memang bertentangan akan diberi tahu, pasal ini tolong dicabut. Kalau dia tidak mau dicabut, setelah waktu tertentu pemerintah bisa batalkan," kata Djohermansyah, di kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (30/9).

Hanya saja, menurut dia, Qanun Jinayat belum ditandatangani oleh gubernur Aceh. Sehingga, evaluasi belum bisa dilakukan segera oleh pemerintah pusat. "Saya mau cek dulu, apakah betul info gubernur belum menandatangani. Kalau begitu kan tidak disetujui bersama, makanya kami cek dulu," ujarnya.

Evaluasi akan dilakukan pemerintah pusat, lanjut Djohermansyah, jika Qanun bertentangan dengan aturan perundang-undangan lebih tinggi. Atau jika Qanun melanggar hak asasi manusia, tidak sesuai dengan UUD 1945, dan bertolak belakang dengan kepentingan umum.

Jika setelah dievaluasi ditemukan pasal-pasal yang bertentangan, Kemendagri akan meminta pemerintah Aceh melakukan perubahan Qanun. Pemerintah daerah diberikan waktu 60 hari untuk melakukan perbaikan.

"Kalau 60 hari tidak juga diperbaiki, maka nanti dibatalkan. Sekarang aturan UU yang baru begitu, cukup dari menteri saja bisa membatalkan UU," jelas Djohermansyah.

DPRA mengesahkan Qanun Jinayat pada Sabtu (27/9) dini hari. Perda syariat Islam tersebut akan berlaku tidak hanya bagi orang Islam, tetapi juga warga Aceh yang non-muslim. Perda yang mengatur hukum pidana Islam itu disetujui secara aklamasi dalam sidang paripurna DPRA yang dihadiri oleh 22 dari 69 anggota parlemen Aceh.

Qanun tersebut di antaranya berisi sanksi bagi mereka yang melakukan jarimah (perbuatan yang dilarang syariat Islam dan dikenal hukuman hudud atau takzir). Seperti konsumsi minuman keras, naisir (judi), dan khalwat (berdua-duaan di tempat tertutup yang bukan mahram).

Selain itu, juga terhadap perbuatan ikhtilath (bermesraan di ruang terbuka atau tertutup), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat membuktikan), liwath (hubungan seksual sesama lelaki), dan musahaqah (hubungan seksual sesama perempuan).

Mereka yang melanggar Qanun diancam dengan hukuman beragam. Ancaman hukuman cambuk dikenakan merentang dari 10 hingga 200 kali cambuk. Ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas murni atau 20 bulan sampai 200 bulan penjara.

Hukuman paling ringan untuk pelaku mesum, sedangkan ancaman hukuman terberat ialah terhadap pemerkosa anak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement