REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bakal menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Pilkada. Langkah itu dilakukan lantaran banyaknya kritikan terhadap ketua umum Partai Demokrat itu.
Peneliti politik the Habibie Center Bawono Kumoro menilai ada motif politik yang melandasi keputusan SBY menerbitkan perppu pembatalan UU Pilkada.
"Harus diingat bahwa SBY juga ketua umum sebuah partai, jadi jelas ada pertimbangan politik di sana," kata dia, Selasa (30/9).
Bawono menyatakan, SBY melihat peluang politik agar Demokrat dilirik masuk dalam koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk pengajuan komposisi pimpinan DPR.
Apalagi, koalisi pendukung pemenang pilpres 2014 itu membutuhkan satu partai lagi untuk mengajukan paket pimpinan DPR periode mendatang. "PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura kebingungan mencari satu partai lagi," kata Bawono.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan PDIP membuat pemilihan pimpinan DPR berdasarkan sistem paket. Akibatnya, pengajuan paket pimpinan DPR membutuhkan lima partai. "Komposisi satu ketua DPR dan empat wakil," kata Bawono.
Sekarang ini, koalisi Jokowi-JK memang terdiri dari lima partai. Namun, hanya empat partai yang lolos ke parlemen, yaitu PDI Perjuangan, Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura.
Jika Demokrat bergabung maka koalisi Jokowi-JK bakal memiliki 269 kursi di parlemen. Jumlah ini sebenarnya masih belum cukup untuk memenangkan voting di DPR. Sebab, Koalisi Merah Putih menguasai 291 kursi di DPR.
"Sekarang tinggal bagaimana komunikasi antarelite kedua partai itu dimatangkan untuk mempertajam kesamaan kepentingan dan merumuskan konsesi politik," kata Bawono.
Dia menambahkan, pendekatan SBY terhadap PDIP masih terkait koalisi di parlemen. "Untuk kursi kabinet kemungkinan tidak langsung," kata Bawono.
Artinya, Demokrat tidak akan langsung masuk kabinet Jokowi-JK pada Oktober mendatang. Demokrat akan masuk dalam pemerintahan ketika Jokowi-JK melakukan perombakan kabinet.
Opsi lainnya, yaitu memasukan kalangan profesional yang selama ini dekat dengan lingkaran politik SBY dalam kabinet. "Kemungkinan itu selalu ada," ujar Bawono.